🌱Assalamu'alaikum
ust, sya msih blm paham betul ttg bid'ah..?
Yg sya pahami ada dua pndpt utk dlm mmahami
hadits و كل بدعة ضلالة
1. Dipahami scara tekstual hadits, krna ada
hadits Rasul yglain mngatakan "smua ummatku msuk surga,kecuali yg
enggan" disini ada pngecualian sdg yg di hadits bid'ah tdk ada. Dipahami
smua yg bid'ah di neraka
2. Ada prkataan umar, yg brhbungn dgn sholat
trawih, ni'matil bad'atu haadzih, dan smp skrg sholat trawih msih diabadikan
kaum muslimin. Lalu ada pnjlasan imam syafii ttg bid'ah hasanah dan bid'ah
dholalah. Sbtas yg sya tau kalau bid'ah itu ssuatu yg baru dlm hal ibadah, yg
dikhususkan wktunya.
Nah bgaimana dgn fenomena yg trjadi skrg2 ini
ustdz, sprti dzikir brsama yg dkeraskan suaranya -itu kan waktunya ttp ustdz-,
dan sahabat tdk melakukan itu ustdz? Kalau sholat trawih -umar- disepakati
ulama... Bgaimana itu ust??
---
🍀 Jawab 🍀:
Sebagaimana diketahui bahwa pembahasan seputar
Bid'ah, merupakan bahasan populer di kalangan ummat Islam akhir-akhir ini.
Dalam hal ini, sikap kita mesti lah bijak. Kita harus mengetahui bahwa perkara
ini adalah perkara khilafiyyah-dzanniyyah, mengingat para ulama -yang amat
kredibel/mu'tabar- banyak mengomentari hal ini, dan tak dapat dipungkiri bahwa
akhirnya mereka terbagi ke dalam dua kubu. Kubu pertama, memutlakkan bahwa
semua bid'ah itu sesat. Sedangkan yang kedua mengklasifikasikannya. Tidak
memutlakkan semua bid'ah itu sesat, tapi membaginya ke dalam beberapa bagian.
Bid'ah sendiri, menurut bahasa(لغة):
بَدَعَ : بَدَعَ الشَّيْءَ يَبْدَعُهُ بَدْعًا
Bada'a : Memulai sesuatu
Ibtada'ahu : Membangun dari dasar dan
mengawalinya
Dan secara istilah :
البِدْعَةُ : الحَدَثُ وَمَا ابْتُدِعَ مِنَ الدِّيْنِ بَعْدَ الإِكْمَالِ
Bid'ah : Perkara baru, yang di adakan dalam
perkara agama setelah Dien ini telah jelas dan sempurna.
Menurut Ibn As-Sikit : Bid'ah adalah Segala
perkara yang baru.
Menurut Ibnul Atsir, bid'ah itu terbagi ke
dalam dua bagian. Bid'ah Huda (Bid'ah yang sesuai petunjuk syari'at), dan Bid'ah Dholâl (Bid'ah yang sesat). Maka apa saja dari perbuatan bid'ah yang
menyelisihi syari'at Allaah dan Rasul-Nya, maka hal itu termasuk ke dalam
perkara yang dicela dan diingkari. Dan apa yang berada pada naungan keumuman
dari dalil dalil sunnah, maka itu termasuk perkara yang dipuji. (Ibn Mandzûr,
Lisânul 'Arab, Jilid 2/Hal. 37)
Para Ulama terbagi ke dalam dua bagian :
[1]. Berpegang pada pendapat Sulthânul
'Ulamâ'(Pemimpin para Ulama), Al 'Izz Ibn Abdissalâm rahimahullâh yang
memaparkan pendapat bahwa apa saja yang tidak pernah dikerjakan Nabi
shallallâhu 'alayhi wasallam adalah bid'ah. Namun, ia membagi bid'ah ke dalam
beberapa hukum :
1). Bid'ah yang Wajib(contoh belajar Nahwu untuk memahami
AlQur'an,dll.)
2). Bid'ah yang Haram,
3). Bid'ah yang Sunnah,
4). Bid'ah yang
Makruh,
5). Bid'ah yang Mubah.
Maka jalan untuk mengetahuinya ialah dengan
menyesuaikan bid'ah-bid'ah ini dengan kaidah syara'. Jika masuk dalam kaidah yang wajib, maka ia
menjadi bid'ah wajib. Dan jika masuk dalam kaidah yang haram, maka ia bid'ah
yang haram..dan seterusnya. (Al 'Izz Ibn Abdissalâm, Qowâ'id Al-Ahkâm fi
Mashâlih Al-Anâm , Juz 2/ Hal. 204)
Pendapat ini juga diambil oleh Imam Nawawi
rahimahullâh, ia berkata : "Dan segala perkara yang belum pernah ada di
zaman beliau shallallâhu 'alayhi wasallam adalah bid'ah. Akan tetapi dari
perbuatan bid'ah tersebut : Ada yang baik (bid'ah hasanah), dan ada dari bid'ah
tersebut yang menyelisihi perkara sunnah(bid'ah dholâlah)." (Ibn Hajar Al
Asqalani, Fathul Bâriy , Juz 2/ Hal. 394).
Kalangan yang berpandangan seperti ini ialah
Al-Imâm As-Syâfi'i, Abu Syâmah, Al-Ghozali, As-Suyuthi. Dari Madzhab Maliki :
Al-Qarâfi, Az-Zarqâni. Dari Madzhab Hanafi : Ibn Abidin. Dari Madzhab Hanbali :
Ibnul Jawzy. Dan Imam Ibn Hazm. (Al-Mawsû'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 8/21)
[2]. Berpegang pada pendapat bahwa bid'ah,
semuanya sesat dan tercela. Baik dalam perkara Ibadah maupun Adat. Tidak pula
ada istilah bid'ah wajib, bid'ah sunnah, bid'ah mubah, bid'ah makruh, dan
bid'ah haram. Pendapat ini diambil diantaranya oleh Imam Malik, Imam
As-Syatibhi, At-Thartawusi. Dari Madzhab Hanafi : Imam As-Syamunni, Imam Al
'Aini. Dari Madzhab Syafi'i : Al Bayhaqi, Ibn Hajar Al Asqalani, Ibn Hajar Al
Haytami. Dari Madzhab Hanbali : Imam Ibn Rajab Al Hanbali, Ibn Taimiyah(Al
Mawsû'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 8/23)
Imam Ibn Rajab berkata : "Dan maksud dari
Bid'ah : Perkara apa saja yang diadakan(dalam urusan agama ini), yang tidak
terdapat asal hukum dalam syari'at yang menunjukkan kebolehan perbuatan itu.
Dan adapun perbuatan yang memiliki asal hukum dari syari'at, dan menunjukkan
akan kebolehan perbuatan tersebut maka hal itu bukan bid'ah. Akan tetapi (kita
katakan) itu adalah bid'ah menurut bahasa saja." (Ibn Rajab Al Hanbali,
Jâmi' Al-'Ulûm wa Al-Hikam, Hal. 500)
DR. Ali Jum'ah (Mantan Mufti Mesir) mengatakan
: Setiap kalangan dari dua poros ini yang dapat kita pahami, akhirnya
bertemu pada satu titik yakni sepakatnya mereka dengan pendapat bahwa bid'ah
yang dicela adalah bid'ah yang tidak memiliki asal pendapat dalam syari'at,
yang menunjukkan akan perbuatan itu. Dan inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi
saw :
((كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ))
"Segala bid'ah adalah sesat". (HR.
Muslim, dan Ahmad). (DR. Ali Jum'ah, Al Bayân limâ Yasyghalu Al Adzhân, Jilid
1/ Hal. 243-244)
Dalil orang-orang yang membagi bid'ah menjadi
dua (hasanah dan sayyi-ah) serta lima (bid'ah wajib, sunnah, mubah, makruh, dan
haram) ialah :
(1). Ucapan 'Umar ra. dalam pelaksanaan sholat
tarowih, yang dilakukan secara berjamaah di Masjid sebulan penuh di bulan
Ramadhan. Dari Abdurrahman Ibn Abdil Qari bahwa ia berkata : "Aku keluar
bersama 'Umar ra. pada malam di bulan Ramadhan untuk pergi ke Masjid. Maka kami
melihat orang-orang menyebar terpisah-pisah. Ada seorang laki-laki sholat
menyendiri. Dan ada juga yang berkumpul. Maka berkata 'Umar : "Aku
berpandangan seandainya mereka aku kumpulkan dalan satu jamaah dan di imami
oleh seorang ahli qur'an maka akan lebih sempurna. Kemudian ia bertekad seperti
itu. Hingga akhirnya ia mengumpulkan orang-orang(agar sholat secara berjamaah),
dengan Imam Ubay Ibn Ka'ab. Di malam berikutnya aku keluar bersama Umar, dan
orang-orang sholat berjamaah(tarowih) di masjid dengan diimami ahli qur'an.
Berkatalah 'Umar ra. :
((نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ))
"Sebaik-baik bid'ah adalah hal ini".
(HR. Bukhari)
Diriwayatkan bahwa Ubay ibn Ka'ab berkata
kepada 'Umar, "Ini tidak pernah ada di zaman Nabi saw". Maka 'Umar
menjawab, "Ya, Aku tahu. Akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang
baik."( Jâmi' Al-'Ulûm wal-Hikam, hal. 501)
Pendapat ini disanggah oleh Ibn Rajab
Al-Hanbali : "Perbuatan ini memang tidak pernah ada di zaman Nabi dengan
bentuk demikian, akan tetapi hal itu tercakup ke dalam dalil-dalil syara' yang
dapat dirujuk kepadanya. Di antaranya : bahwasanya Nabi saw. mendorong
ummatnya untuk melakukan Qiyâm Ramadhan, dan bersemangat di dalamnya. Dan
orang-orang di zaman Nabi saw melaksanakan sholat di Masjid baik berjamaah
maupun sendiri-sendiri. Dan Nabi saw. sholat bersama para sahabatnya pada bulan
Ramadhan di malam yang lain. Kemudian Nabi saw. melarang hal itu karena
khawatir sholat pada malam Ramadhan akan diwajibkan dan Ummatnya akan merasa
lemah dalam menunaikannya.(HR. Bukhari, 4/251).
(2). Penyebutan Ibn 'Umar atas pelaksanaan
sholat dluha berjamaah di masjid sebagai bid'ah, padahal hal itu merupakan amal
yang baik. Diriwayatkan dari Mujahid ia berkata : "Aku masuk ke dalam
Masjid bersama 'Urwah Ibn Zubair, dan Ibn 'Umar duduk disamping kamar 'Aisyah
r.anha. Ketika orang-orang berdiri melaksanakan sholat dluha berjamaah , kami
bertanya pada Ibn 'Umar tentang hal ini. Ia berkata : "bid'ah". (HR.
Bukhari 2/630, Muslim 2/917).
(3). Hadits yang diriwayatkan secara marfu' :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ القِيَامَة
"Barangsiapa yang memulai perkara baru
yang baik, maka ia akan diberi pahala perbuatan tersebut serta orang-orang yang
mengikuti perbuatannya itu hingga hari kiamat. Dan barangsiapa yang memulai
perkara baru yang jelek, maka hal itu dicatat sebagai dosa, dan ia baginya dosa
orang-orang yang mengikuti perbuatan jeleknya hingga hari kiamat." (HR.
Muslim 2/705).
Maka, bagi kita kaum awam yang memandang dua
poros pendapat para 'ulama ini, adalah meninggalkan bid'ah yang memang telah
disepakati para 'ulama, yakni bid'ah madzmumah(tercela) yang tidak ada landasan
sama sekali di dalam syari'at (seperti mengikuti paham madzhab Qodariyyah,
Jabariyyah, Murji'ah, Khowarij). Atau misalkan merayakan hari karbala dan
sholat sya'ban. Maka semua itu tidak ada landasannya dan mesti ditinggalkan.
Adapun bid'ah, yang masih diperselisihkan para
'ulama seperti Maulid, atau Mushofahah dan dzikir bersama setelah sholat, maka
kita dalam hal ini harus saling menghormati dan tidak saling mencela. Bisa jadi
perbuatan-perbuatan ini -oleh sementara kalangan- dianggap bid'ah dholalah;
tapi oleh kalangan lain bisa jadi semua perbuatan itu dianggap bid'ah hasanah.
Bahkan juga dapat saja dianggap bid'ah, tapi diterima karena bid'ah itu adalah
bid'ah secara bahasa, dan bukan secara syar'i.
Dalam hal ini kami memandang bahwa
seolah-olah, apa yang disebut oleh sebagian ulama sebagai bid'ah hasanah, oleh
ulama yang lain dianggap sebagai bid'ah secara bahasa.
Akhirnya kita hanya dapat nenyerahkan semua
perkara ini pada Allaah swt, dimana masing-masing orang akan diberi pahala
berdasarkan ijtihadnya, memilih pendapat yang paling benar diantara dua
pendapat ini. Wallâhu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar