Assalamu'alaikum wr wb.
Afwan Ustadz mau tanya terkait hukum asal ulat
dan jangkrik? dan bagaimana hukumnya melakukan jual beli ulat dan jangkrik?
Misalkan buat pakan ternak burung atau yang semisal.
---
Jawab :
Ulat, dalam bahasa Arab di istilahkan dengan
dûd/dûdah (دودة). Adapun jangkrik, karena tidak ada padanan kata yang sesuai
maka dapat dikatakan frasa "jangkrik" ini di istilahkan dengan
krikît(كريكيت) yang diserap dari bahasa Inggris, cricket. (www.alnabaa.net)
Dalam hal ini, para Ulama telah
berijma'(bersepakat) bahwa hukum memakan hasyarat(hewan hewan menjijikan)
yang tidak memberikan manfaat adalah haram. Dalilnya ialah :
وَ يُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِث
"Diharamkan atas kalian segala hal yang
menjijikan" (QS. Al A'raf : 157)
Diantara hewan menjijikan ialah ular,
kalajengking, kumbang, monyet, atau kutu. (Kifâyatul Akhyâr, hal. 223).
Karena terkategori haram untuk dimakan, maka
otomatis haram untuk dijual. Terdapat nash hadits yang secara tegas melarang kita
untuk memanfaatkan/menjual belikan sesuatu yang telah diharamkan oleh syara'.
Rasulullâh shallallâhu 'alayhi wasallam bersabda :
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
"Sesungguhnya Allah SWT, jika mengharamkan
sesuatu, Dia juga mengharamkan harga(dari keuntungan jual belinya)" (HR
Ahmad, Ibn Hibban, dan Daraquthni).
Karena itu, hukum menjual belikan hewan yang terkategori hasyarat ini adalah
haram.
Untuk masalah ulat, sebagian
ulama dari berbagai madzhab menggunakan metode istishab untuk menentukan
hukum memakan ulat. Istishab adalah metode memahami hukum atas sesuatu dengan
mengambil dalil umum yang terdapat dalam nash, untuk menghukumi objek yang
tidak ditemukan nashnya.
Berdasarkan hal itu para Ulama Madzhab
memiliki beragam pendapat :
1. Diperbolehkan memakan ulat jika belum
ditiupkan ruh di dalamnya(masih berupa telur ulat). Baik ia dimakan langsung
atau dicampur dengan yang lain. Dan adapun ulat yang telah ditiupkan ruh, maka
tidak diperbolehkan memakannya, baik ia hidup ataupun dalam keadaan mati. Baik
ia dimakan langsung atau dicampur dengan yang lain. Tetap haram. Dan yang
semisalnya adalah tungau.
2. Madzhab Syafi'i : bahwasanya ulat dalam
keju atau buah, jika memang muncul dari
sana maka boleh memakannya bersama keju/buahnya. Tidak ada perbedaan hukum,
antara memakannya dengan ia hidup atau sudah mati(tetap boleh). Juga tidak
dibedakan hukumnya, apakah ia susah untuk dipisahkan dari keju/buah tersebut,
atau mudah untuk dipisahkan(hukum asalnya tetap boleh). Akan tetapi jika ia
muncul dari tempat yang lain, kemudian menempel di keju/buah, maka dalam hal
ini ia tidak boleh dikonsumsi.
3. Adapun madzhab hanbali menghalalkan makan
ulat dan tungau jika ia menempel pada makanan manusia. Dikatakan, bahwa boleh
memakan buah dan ulat yang ada di dalamnya. Atau boleh memakan keju atau cuka
beserta apa yang ada disana(dari hewan-hewan tadi). Tidak diperkenankan memakan
ulat dan tungau secara langsung dengan sendiri.
4. Madzhab Maliki berpendapat, Ulat yang lahir
dari makanan(semisal buah) itu sendiri dihalalkan secara mutlak tanpa harus ada
perincian. Baik ia hidup maupun dalam keadaan mati. Akan tetapi jika ia lahir/muncul
bukan dari makanan, dan berada di dalam makanan maka hal ini
ditafshil(dirinci). Jika ia hidup, wajib disembelih dan ia mati karenanya. Dan
jika ia dalam kondisi mati, dilihat apakah ia tampak atau tidak. Jika
tampak(dapat disingkirkan), maka wajib disingkirkan. Namun jika tidak tampak
ulatnya, maka boleh dimakan jika memang makanan yang ada lebih besar daripada
jumlah ulatnya. Namun jika porsinya lebih sedikit daripada ulatnya atau sama
persis, maka dalam hal ini makanan mesti dibuang(tidak halal). Akan tetapi jika
ragu ragu tentang perkara itu, maka dalam hal ini dibolehkan untuk dimakan.
Karena keragu raguan tidak mengakibatkan makanan mesti dibuang(dikembalikan
pada hukum asal bahwa makanan tersebut bebas ulat). Ini semua dikembalikan pada
tinjauan kesehatan dan manfaat. Seandainya membahayakan, maka tidak boleh
dimakan.(Al Fiqh 'ala Madzâhib Al Arba'ah, Juz 2/Hal. 6)
Dalam hal ini, ulat yang dimaksud adalah ulat
dalam makanan.
Adapun ulat yang berasal dari tanah, maka
seandainya memang bermanfaat untuk pakan ternak, maka dalam hal ini boleh untuk
dijualbelikan, karena nash yang ada hanya melarang perkara menjijikan yang
tidak dapat diambil manfaatnya. Dan ini adalah khilaf di kalangan ulama, yang
akan tiba penjelasannya.(lihat, Al Fiqh 'ala Madzahib Al Arba'ah, Juz 2, Bab Al
Hadzr wa Al Ibahah, hal. 5-9).
Seperti jika kita ambil kasus hukum ulat sutra
misalnya; dimana sebagian ulama membolehkan untuk diperjualbelikan karena
menghasilkan sutera. Atau lebah, karena diambil madunya. Dan ini akan kami
rinci di pembahasan selanjutnya.
Untuk pemasalahan jangkrik; tidak ada nash
yang menegaskan akan status kehalalan dari jangkrik ini(boleh dimakan atau
tidak). Dan tidak pula terkategori _hasyarat_ di sebagian tempat. Maka, jika
kita merujuk pada Fatwa MUI, No. Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 yang
menyebutkan bahwa jangkrik terkategori sebagai keluarga
belalang(www.halalmui.org);itu berarti hukum memakan jangkrik adalah
mubah(boleh), dan otomatis jual belinya sah.
Dalam
hal ini, merujuk pada fatwa MUI -soal permasalahan ini- adalah lebih selamat
dan dapat dipertanggungjawabkan. Wallâhu a'lam.
[23/2 17.19] +62 857-2168-5945: *Pendapat 1 & 2 : Pendapat Hanafiyyah dan Syafi'iyyah. (lihat, Al
Fiqh 'ala Al Madzahib Al Arba'ah, Juz 2/ hal.6 -karangan Syaikh Abdurrahman Al
Juzairy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar