Minggu, 12 Maret 2017

SOAL JAWAB 10

Assalamu'alaikum wr wb.
Afwan Ustadz mau tanya terkait hukum asal ulat dan jangkrik? dan bagaimana hukumnya melakukan jual beli ulat dan jangkrik? Misalkan buat pakan ternak burung atau yang semisal.

---
Jawab :

Ulat, dalam bahasa Arab di istilahkan dengan dûd/dûdah (دودة). Adapun jangkrik, karena tidak ada padanan kata yang sesuai maka dapat dikatakan frasa "jangkrik" ini di istilahkan dengan krikît(كريكيت) yang diserap dari bahasa Inggris, cricket. (www.alnabaa.net)

Dalam hal ini, para Ulama telah berijma'(bersepakat) bahwa hukum memakan hasyarat(hewan hewan menjijikan) yang tidak memberikan manfaat adalah haram. Dalilnya ialah :

وَ يُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِث

"Diharamkan atas kalian segala hal yang menjijikan" (QS. Al A'raf : 157)

Diantara hewan menjijikan ialah ular, kalajengking, kumbang, monyet, atau kutu. (Kifâyatul Akhyâr, hal. 223).

Karena terkategori haram untuk dimakan, maka otomatis haram untuk dijual. Terdapat nash hadits yang secara tegas melarang kita untuk memanfaatkan/menjual belikan sesuatu yang telah diharamkan oleh syara'. Rasulullâh shallallâhu 'alayhi wasallam bersabda :

إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ

"Sesungguhnya Allah SWT, jika mengharamkan sesuatu, Dia juga mengharamkan harga(dari keuntungan jual belinya)" (HR Ahmad, Ibn Hibban,  dan Daraquthni). 

Karena itu, hukum menjual belikan hewan yang terkategori hasyarat ini adalah haram.

Untuk masalah ulat,  sebagian  ulama dari berbagai madzhab menggunakan metode istishab untuk menentukan hukum memakan ulat. Istishab adalah metode memahami hukum atas sesuatu dengan mengambil dalil umum yang terdapat dalam nash, untuk menghukumi objek yang tidak ditemukan nashnya.

Berdasarkan hal itu para Ulama Madzhab memiliki beragam pendapat :

1. Diperbolehkan memakan ulat jika belum ditiupkan ruh di dalamnya(masih berupa telur ulat). Baik ia dimakan langsung atau dicampur dengan yang lain. Dan adapun ulat yang telah ditiupkan ruh, maka tidak diperbolehkan memakannya, baik ia hidup ataupun dalam keadaan mati. Baik ia dimakan langsung atau dicampur dengan yang lain. Tetap haram. Dan yang semisalnya adalah tungau.

2. Madzhab Syafi'i : bahwasanya ulat dalam keju atau buah,  jika memang muncul dari sana maka boleh memakannya bersama keju/buahnya. Tidak ada perbedaan hukum, antara memakannya dengan ia hidup atau sudah mati(tetap boleh). Juga tidak dibedakan hukumnya, apakah ia susah untuk dipisahkan dari keju/buah tersebut, atau mudah untuk dipisahkan(hukum asalnya tetap boleh). Akan tetapi jika ia muncul dari tempat yang lain, kemudian menempel di keju/buah, maka dalam hal ini ia tidak boleh dikonsumsi.

3. Adapun madzhab hanbali menghalalkan makan ulat dan tungau jika ia menempel pada makanan manusia. Dikatakan, bahwa boleh memakan buah dan ulat yang ada di dalamnya. Atau boleh memakan keju atau cuka beserta apa yang ada disana(dari hewan-hewan tadi). Tidak diperkenankan memakan ulat dan tungau secara langsung dengan sendiri.

4. Madzhab Maliki berpendapat, Ulat yang lahir dari makanan(semisal buah) itu sendiri dihalalkan secara mutlak tanpa harus ada perincian. Baik ia hidup maupun dalam keadaan mati. Akan tetapi jika ia lahir/muncul bukan dari makanan, dan berada di dalam makanan maka hal ini ditafshil(dirinci). Jika ia hidup, wajib disembelih dan ia mati karenanya. Dan jika ia dalam kondisi mati, dilihat apakah ia tampak atau tidak. Jika tampak(dapat disingkirkan), maka wajib disingkirkan. Namun jika tidak tampak ulatnya, maka boleh dimakan jika memang makanan yang ada lebih besar daripada jumlah ulatnya. Namun jika porsinya lebih sedikit daripada ulatnya atau sama persis, maka dalam hal ini makanan mesti dibuang(tidak halal). Akan tetapi jika ragu ragu tentang perkara itu, maka dalam hal ini dibolehkan untuk dimakan. Karena keragu raguan tidak mengakibatkan makanan mesti dibuang(dikembalikan pada hukum asal bahwa makanan tersebut bebas ulat). Ini semua dikembalikan pada tinjauan kesehatan dan manfaat. Seandainya membahayakan, maka tidak boleh dimakan.(Al Fiqh 'ala Madzâhib Al Arba'ah, Juz 2/Hal. 6)

Dalam hal ini, ulat yang dimaksud adalah ulat dalam makanan.
Adapun ulat yang berasal dari tanah, maka seandainya memang bermanfaat untuk pakan ternak, maka dalam hal ini boleh untuk dijualbelikan, karena nash yang ada hanya melarang perkara menjijikan yang tidak dapat diambil manfaatnya. Dan ini adalah khilaf di kalangan ulama, yang akan tiba penjelasannya.(lihat, Al Fiqh 'ala Madzahib Al Arba'ah, Juz 2, Bab Al Hadzr wa Al Ibahah, hal. 5-9).

Seperti jika kita ambil kasus hukum ulat sutra misalnya; dimana sebagian ulama membolehkan untuk diperjualbelikan karena menghasilkan sutera. Atau lebah, karena diambil madunya. Dan ini akan kami rinci di pembahasan selanjutnya.

Untuk pemasalahan jangkrik; tidak ada nash yang menegaskan akan status kehalalan dari jangkrik ini(boleh dimakan atau tidak). Dan tidak pula terkategori _hasyarat_ di sebagian tempat. Maka, jika kita merujuk pada Fatwa MUI, No. Nomor Kep-139/MUI/IV/2000  yang menyebutkan bahwa jangkrik terkategori sebagai keluarga belalang(www.halalmui.org);itu berarti hukum memakan jangkrik adalah mubah(boleh), dan otomatis jual belinya sah.

 Dalam hal ini, merujuk pada fatwa MUI -soal permasalahan ini- adalah lebih selamat dan dapat dipertanggungjawabkan. Wallâhu a'lam.

[23/2 17.19] ‪+62 857-2168-5945: *Pendapat 1 & 2 : Pendapat Hanafiyyah dan Syafi'iyyah. (lihat, Al Fiqh 'ala Al Madzahib Al Arba'ah, Juz 2/ hal.6 -karangan Syaikh Abdurrahman Al Juzairy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...