Jumat, 19 Januari 2018

 Sholat Jum'at bagi Perempuan
 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH

Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat bagi kaum wanita yg dilakukan di wilayah2 trtentu...dan kl wanita sdh ikut sholat jumat apakah harus sholat zuhur juga mengingat tidak wajib nya wanita sholat jumat..? Jazakallah ustadz

-- Jawaban --
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Di dalam hadits jelas diterangkan bahwa perempuan tidak diwajibkan untuk mengikuti ibadah jum'at(shalat dan khutbah jum'at).
Hadits tersebut diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَعَلَيْهِ الجُمُعَةُ يَوْمَ الجُمُعَةِ إِلَّا مَرِيْضٌ أَوْ مُسَافِر ٌأَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَمْلُوْكٌ..

"Barangsiapa yang beriman kepada Allaah dan Hari Akhir maka baginya kewajiban ibadah Jum'at pada hari Jum'at; kecuali mereka yang sakit, atau musafir(bepergian), perempuan, anak anak belum baligh, atau budak.." (HR. Ad-Daruquthni No. 1576)

Tertulis dalam kitab Fiqh Madzhab Syafi'I :

فلا تجب الجمعة على : كافر أصلي، وصبي، ومجنون، ورقيق، و أنثى، ومريض ونحوه، ومسافر.

"Tidak wajib jum'at bagi : Kafir, Anak anak belum baligh, Orang Gila, Budak, Perempuan, dan orang yang sakit atau sejenisnya, serta Orang yang bepergian". (Muhammad Ibn Qosim, Fathul Qarib Al-Mujiib, Hal. 57. Daarul Khayr - Beirut)

Hikmah tidak diwajibkannya ibadah Jum'at atas perempuan ialah, karena perempuan terhalang untuk menghadiri ibadah jum'at disebabkan tugasnya untuk berkhidmat kepada suami. Juga bahwasanya syara' menghendaki agar para perempuan tidak menghadiri tempat tempat berkumpulnya kaum lelaki, yang mana kadangkala hal tersebut memunculkan fitnah. (Al Kasani, Badaa'i As-Shana'i, 1/258. Daar Al Kutub Al Ilmiyyah)

Akan tetapi, kaum perempuan tidak dilarang jika menghadiri ibadah jum'at di mesjid. Hal itu karena Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

لَا تمنعوا نساءكم المساجد، وبيوتهن خير لهن

"Janganlah kalian melarang para perempuan untuk pergi ke Mesjid. Akan tetapi rumah rumah mereka lebih baik bagi mereka." (HR. Abu Dawud No. 567)

Imam Syafi'I memandang bahwa perempuan lanjut usia dianjurkan pergi ibadah jum'at. (As-Syaukani, Naylul Awthar, 3/270. Daarul Hadits)

Tatkala mereka -para perempuan- menghadiri ibadah jum'at; maka tidak ada lagi kewajiban shalat dzuhur atas mereka karena ibadah jum'at menggantikan shalat dzuhur. Dan pendapat ini tidak ada khilaf di dalamnya. (Ibnul Mundzir, Al Ijmaa', Hal. 52-53)

Lantas, bagaimana jika kaum perempuan mengerjakan sendiri ibadah jum'at di rumah mereka; atau mengerjakan sendiri sendiri di rumah masing masing jika memang shalat di rumah rumah mereka lebih afdhol?

Jawabannya : Ibadah Jum'at wajib dikerjakan berjamaah. Terlepas dari khilafiyah para Imam Madzhab mengenai jumlah minimal peserta jamaahnya, akan tetapi mereka sepakat bahwa ibadah jum'at tidak dapat dikerjakan munfarid.

Dari Thariq Ibn Syihab, dari Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam beliau bersabda :

الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة..

"Ibadah Jum'at itu adalah hak kewajiban setiap muslim secara berjamaah.." (HR. Abu Dawud No. 1067)

Dan berjamaahnya jum'at ini ditunaikan dalam setiap kampung satu jamaah, tidak boleh lebih. Karena itu, perempuan tidak boleh mengerjakan jum'at sendiri.

لا يجوز عند جمهور الفقهاء إقامة جمعتين في بلد واحد إلا لضرورة، كضيق المسجد، لأنّ الرسول صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده لم يقيموا سوى جمعة واحدة

"Tidak diperkenankan menurut mayoritas Ulama adanya dua jamaah jum'at dalam satu wilayah/kampung, kecuali karena darurat. Seperti misalnya, karena sempitnya mesjid. Hal tersebut karena Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam dan para khalifah setelahnya tidak mengerjakan hal itu, dan hanya mendirikan satu jum'at(dalam satu wilayah)." (Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 12/230.)

Kewajiban shalat dzuhur tetap dibebankan kepada kaum perempuan, oleh karena hukum 'azhimah wajibnya shalat dzuhur tidak hilang dengan tidak diwajibkannya jum'at atas mereka.

Apa yang dikerjakan perempuan -dengan shalat dzuhur- in syaAllaah menyamai pahala ibadah jum'at yang dikerjakan kaum lelaki. Ini semata mata karena kita hanya ber ittiba' kepada Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam.

Amat beruntunglah orang orang yang mengikuti sunnah Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam.
Wallaahul haadi ila aqwam at-thariq.

Tanya Jawab : Muhammad Rivaldy Abdullah (+201019133695)
Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Senin, 15 Januari 2018

 Memanfaatkan Uang RIBA
 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH
Oleh: Muhammad Rivaldy

Assalamualaikum ustadz, saya mau tanya misalnya kita tabungan berjangka di bank kemudian kita kan dapet bunganya. Terus bunganya diambil tp disedekahkan boleh tidak?

-- Jawab --

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته..

Berikut adalah soal jawab dengan Syaikh Atha Abu Rasytah (Ulama Pakar Ushul Fiqh), memgenai masalah ini. Diambil dari laman facebook beliau.

-- Sebelum menjawab tentang (apa yang harus dia lakukan dengan harta riba), maka yang wajib bagi orang yang melakukan transaksi (muamalah) ribawi dengan bank adalah menghentikan muamalah ribawinya segera, dan bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat nashuha. Allah Ta'ala berfirman :

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا﴾

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrim [66]:8 )

Allah juga berfirman :

﴿إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا﴾

“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS an-Nisa’ [4]: 146)

Imam At-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Anas bahwa Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

«كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»

“Setiap Anak Adam bisa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat.”

Sehingga taubat itu sah dan Allah mengampuni orang yang bertaubat itu dari dosa tersebut, maka wajib bagi orang yang bertaubat itu melepaskan diri dari kemaksiyatan itu, menyesal karena telah melakukannya, dan bertekad bulat untuk tidak mengulangi semisalnya. Dan jika kemaksiyatan itu berkaitan dengan hak adami, maka disyaratkan mengembalikan kezaliman itu kepada yang berhak atau mendapatkan pembebasan dari mereka.

Jika ia memiliki harta yang dia ambil dari mereka dengan jalan mencuri atau ghashab maka wajib harta itu dikembalikan kepada pemiliknya. Dan ia harus melepaskan diri dari pendapatan haram itu menurut ketentuan syara’.

Jika ia mendapatkan harta dengan jalan haram maka kesudahannya adalah keburukan. Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

«…وَلَا يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالًا مِنْ حَرَامٍ… إِلَّا كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ»

“… dan tidaklah seorang hamba memperoleh harta dari jalan haram … kecuali harta itu menjadi bekalnya ke neraka.”

Imam At-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Ka’ab bin Ujrah bahwa Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda kepadanya :

«يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ»

“Ya Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah suatu daging tumbuh dari harta haram kecuali neraka lebih layak dengannya.”

Adapun berkaitan dengan riba bank atas hartanya dan bagaimana melepaskan diri darinya, maka jawabannya sebagai berikut:
Jika dia berkata kepada bank, saya ingin harta pokok saya saja, dan aturan bank memperbolehkannya mengambil harta pokoknya saja maka cukup seperti itu, dan ia mengambil harta pokoknya saja

Adapun jika aturan bank tidak memperbolehkannya. Tetapi aturan tersebut mewajibkannya mengambil riba beserta harta pokoknya sekaligus dan jika tidak maka bank tidak akan memberikan harta pokoknya, dalam kondisi ini ia mengambil harta pokoknya dan riba tersebut dan dia melepaskan diri dari riba, dan dia letakkan di tempat-tempat kebaikan secara diam-diam (rahasia) tanpa menampakkan bahwa ia bersedekah dengannya, sebab itu adalah harta haram, akan tetapi yang dituntut adalah ia melepaskan diri dari harta haram itu

Misalnya, bisa saja ia mengirimkannya ke masjid tanpa seorang pun tahu atau mengirimkannya kepada keluarga fakir tanpa mereka tahu siapa pengirimnya, dan dengan cara yang di dalamnya tidak tampak bahwa ia bersedekah atau semacam itu.

Adapun pahala atas infaknya itu, maka tidak ada pahala atas infak harta haram. Pembelanjaannya di jalan kebaikan itu bukanlah shadaqah sebab bukan merupakan harta halal yang ia miliki

Akan tetapi, in syâ’a Allâh, ia mendapat pahala karena meninggalkan keharaman, yakni menghapus muamalah ribawinya dengan bank dan melepaskan diri dari harta haram. Allah Ta'ala menerima taubat dari hamba-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amal (melakukan amal dengan ihsan).
Demikian. Wallaahu a'lam.

lisanulama.blogspot.com
www.instagram.com/ngaji_fiqh

 Menjawab Salam Non Muslim
 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH

Assalamualaikum ustad saya mau nanya , apa hukumnya menjawab salam Assalamualaikum dari non muslim?

Jawab :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته..

Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa memulai salam -sebagaimana salam biasa- terhadap non muslim adalah haram. Ini merupakan pendapat madzhab Syafi'I.
Adapun MENJAWAB SALAM dari non muslim, madzhab Syafi'i dan Hanbali memandang hukumnya wajib; namun dengan redaksi "wa'alaykum". (Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 25/170)

Sebagian ulama bahkan mengharamkan pula menjawab salam non muslim, dengan redaksi apa pun. *(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/145)*

Imam Nawawi rahimahullaah berkata :

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي رَدِّ السَّلَامِ عَلَى الْكُفَّارِ وَابْتِدَائِهِمْ بِهِ فَمَذْهَبُنَا تَحْرِيمُ ابْتِدَائِهِمْ بِهِ وَوُجُوبُ رَدِّهِ عَلَيْهِمْ بِأَنْ يَقُولَ وَعَلَيْكُمْ أَوْ عَلَيْكُمْ فَقَطْ. وَ دَلِيْلُنَا فِيْ الإِبْتِدَاءِ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم لَا تَبْدَأُوْا اليَهُوْد وَ لَا النَّصَارَى بِالسَّلَام.

Para ulama berselisih pendapat tentang menjawab salam kepada kaum kafir dan memulai salam kepada mereka. Madzhab kami mengharamkan memulai salam kepada meraka, sedangkan menjawab salam mereka adalah wajib, yaitu dengan jawaban: “WA'ALAYKUM” atau “ALAYKUM” saja. Dan dalil kami untuk haramnya memulai salam terhadap mereka adalah sabda Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam : "Janganlah kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani." (HR. At-Tirmidzi No. 2700)(Al Minhaj, 14/145)

Pendapat yang melarang menyampaikan salam, dan menjawab salam terhadap orang kafir(kecuali dengan redaksi "wa'alaykum"), juga didukung dengan beragam hadits. Diantaranya hadits :

1). Surat Rasulullaah terhadap Heraklius. Di dalam surat tersebut, Nabi tidak menyampaikan salam secara langsung terhadap Heraklius. Namun, lafadz salam dalam bentuk umum.

بسم الله الرحمن الرحيم. من محمد رسول الله إلى هرقل عظيم الروم. سلام على من اتبع الهدى.

"Bismillaahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Utusan Allaah, kepada Heraklius Pembesar Romawi. Keselamatan bagi ia yang mengikuti petunjuk." (HR. Muslim No. 1773. Bab Surat Nabi terhadap Heraklius untuk Menyerunya masuk Islam)

Bentuk salam yang digunakan Nabi adalah bentuk umum. "SALAAMUN 'ALA MAN ITTABA'A AL HUDA". Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk. Dan bukan doa keselamatan bagi Heraklius.

2). Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :

أَنَّ اليَهُودَ أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: السَّامُ عَلَيْكَ، قَالَ: «وَعَلَيْكُمْ» فَقَالَتْ عَائِشَةُ: السَّامُ عَلَيْكُمْ، وَلَعَنَكُمُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْكُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَهْلًا يَا عَائِشَةُ، عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ، وَإِيَّاكِ وَالعُنْفَ، أَوِ الفُحْشَ» قَالَتْ: أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا؟ قَالَ: «أَوَلَمْ تَسْمَعِي مَا قُلْتُ، رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ، فَيُسْتَجَابُ لِي فِيهِمْ، وَلاَ يُسْتَجَابُ لَهُمْ فِيَّ»

Bahwa kaum Yahudi mendatangi Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam dan berkata: “Assaamu ‘alaika (Kebinasaan atasmu)”, Nabi menjawab: “WA 'ALAYKUM (Dan atas kalian).” Maka ‘Aisyah berkata: “Kebinasaan atasmu, juga laknat dan kemurkaan Allah atas kalian.” Lalu Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda: “Sebentar wahai ‘Aisyah, hendaknya kamu lemah lembut, hindari kekerasan atau kekejian.” ‘Aisyah berkata : “Apakah engkau tidak mendengar perkataan mereka?”

Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam menjawab: “Apakah kamu tidak dengar perkataanku? Aku sudah jawab untuk mereka juga. Maka yang aku katakan dikabulkan atas mereka, yang mereka katakan tidak dikabulkan atasku.” (HR. Al Bukhari No. 6401)

Dan inilah pendapat yang terkuat, in Sya Allaah. (lisanulama.blogspot.com/ Muhammad Rivaldy Abdullah)

www.instagram.com/ngaji_fiqh
Telegram : Ngaji FIQH
https://telegram.me/

LESBI TIDAK SAMA DENGAN HOMOSEKSUAL?

Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah

Pernyataan seorang tokoh, yang menyatakan bahwa lesbi tidak haram sebagaimana homoseksual -karena tidak ada dalil Qur'annya- , tentu merupakan pernyataan 'aneh' yang keluar dari seseorang yang belum mengerti ilmu agama.

Perbuatan tokoh ini, persis sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibn Hajar Al Asqalani. Beliau mengatakan :

إذا تكلم المرء في غير فنه أتى بهذه العجائب

"Jika seseorang berbicara diluar dari bidang keilmuannya, maka ia akan tampil dengan membawa sesuatu yang 'ajaib'(aneh)". (Fathul Baari, 3/584)

Perilaku semacam ini tidak boleh menjadi kebiasaan di negeri kita.
Seseorang yang tidak memiliki kapasitas ilmu, serta tidak mengerti hukum syara' tidak boleh sembarangan mengeluarkan pendapat hukum. Hatta, jawabannya benar saja -jika ia ditanya tentang suatu perkara, kemudian menjawab dengan asal meski jawabannya benar- maka ini termasuk ke dalam perbuatan yang dilarang. Mudah mudahan dikemudian hari bisa kita ulas mengenai perkara ini, in sya Allaah.

Benarkah Perilaku Lesbi tidak Haram?

Dalam bahasa Arab, lesbi ini di istilahkan dengan kata 'sihaaq' (السِّحَاقُ). Sedangkan untuk homoseksual/gay, diistilahkan dengan kata 'liwaath' (اللِّوَاط).

Dikatakan :

السِّحَاقُ وَالمُسَاحَقَة لغة واصطلاحا : فعل النساء بعضهن ببعض. وكذلك فعل المجبوب بالمرأة يسمى سحاقا.

As-Sihaaq dan Al-Musaahaqah menurut bahasa dan istilah : Perbuatan keji yang dilakukan perempuan dengan perempuan satu sama lain. Begitu juga perbuatan kebiri(majbub) yang dikerjakan perempuan, dinamakan sihaaq. *(As-Syarh Al-Kabir, 4/316. Lihat juga, Lisaanul Arab dan Qamus Al Muhith, tentang lafadz : sa-ha-qa. )*

Perbedaan antara zina dengan sihaaq, sihaaq tidak memasukkan kemaluan (hanya terjadi persentuhan antara kelamin dengan kelamin). *(Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 19/24)*

Di dalam kitab Fiqhus Sunnah juga diterangkan :

السحاق : الذي تفعله المرأة مع المرأة فاستشهدوا عليهن أربعة من رجالكم، فإن شهدوا فاحبسوهن في البيوت بأن توضع المرأة وحدها بعيدة عمن كانت تساحقها، حتى تموت.

"As-Sihaaq : (Perbuatan keji) yang dikerjakan perempuan dengan perempuan. Maka mereka dihukum dengan kesaksian empat orang laki laki diantara kalian. Jika mereka semua bersaksi, maka pelaku lesbi ini hendaknya di penjara di dalam rumah(tahanan rumah) dimana ia diletakkan sendirian dengan jarak yang jauh dari tempat penjara pasangan lesbinya, hingga wafat.." (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 2/405. Daar Al Kitab Al Arabi.)

Para Ulama telah sepakat akan keharaman perbuatan sihaq ini. Bahkan Imam Ibn Hajar Al Asqalani memasukkannya ke dalam perbuatan dosa besar/al kabaa'ir. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 24/251; Az-Zawaajir 'an Iqtiraaf Al Kabaa'ir, 2/119)
Keharaman perilaku lesbian ini disandarkan pada dalil :

(1). QS. Al Mu'minun : 5-7.

Allaah Ta'ala berfirman :

والذين هم لفروجهم حافظون. إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين. فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون.

"(Dan orang-orang yang beriman itu) ialah mereka yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri istri mereka dan budak yang mereka miliki. Maka dalam hal ini mereka tiada tercela. Akan tetapi siapa saja yang mencari selain itu, maka mereka itulah orang orang yang melampaui batas." (QS. Al Mu'minun[23] :5-7)

Maka sesiapa saja yang memenuhi syahwatnya, dengan selain dari yang tertera dalam ayat di atas; maka ia telah melakukan perbuatan yang melampaui batas.

(2). Hadits yang menerangkan bahwa Sihaq termasuk ke dalam Zina.

Dari Watsilah, ia berkata : Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

سِحَاقُ النِّسَاءِ بَيْنَهُنَّ زِنَا

"Perbuatan sihaq(lesbi) antar sesama perempuan termasuk zina". *(HR. Abu Ya'la dan rijalnya tsiqaat. Hadits ini diperselisihkan statusnya, namun dikutip oleh Al Hafidz Adz-Dzahabi dalam Al Kabaa'ir[1/56], dan Al Hafidz As Suyuthi dalam Ad Durr Al Mantsur[6/257]).*

(3). Hadits yang melarang laki laki dengan laki laki, serta perempuan dengan perempuan berada dalam satu pakaian/kain.

لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل، ولا المرأة إلى عورة المرأة، ولا يفضي الرجل إلى الرجل في ثوب واحد، ولا تفضي المرأة إلى المرأة في الثوب الواحد

"Tidak boleh seorang laki laki melihat aurat laki laki lagi; dan tidak boleh pula seorang perempuan melihat aurat perempuan. Dan tidak boleh bergumul laki laki dengan laki laki (dengan telanjang) dalam satu kain; serta tidak boleh bergumul perempuan dengan perempuan (dengan telanjang) dalam satu kain." (HR. Muslim No. 338)

Imam Nawawi rahimahullaah :
"Di dalam hadits ini ada larangan memandangnya seorang laki laki kepada aurat laki laki(kemaluan) dan perempuan kepada aurat perempuan. Dan hal ini termasuk perkara yang tidak ada perselisihan di dalamnya". (Syarh Shahih Muslim, 9/338. Daar Al Ma'rifah-Beirut).

Bagaimana mungkin tindakan lesbi -bahkan sampai Nikah Sesama Jenis- bisa dianggap halal, padahal melihat aurat sesama mereka saja terlarang?!

Dalam Islam bahkan pelaku lesbi ini wajib dihukum. Hukuman bagi pelaku sihaq ini terkategori hukuman ta'zir(diserahkan kepada khalifah/amir kaum muslimin) berdasarkan ijtihad. Dalam hal ini, hukuman ta'zir yang banyak disebutkan ulama adalah hukuman berupa tahanan rumah. Hukuman tersebut berlaku hingga akhir hayatnya, kecuali ia bertaubat dan menikah dengan normal. (Al Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, 13/185; Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 2/405)

Segolongan Ulama Salaf memandang hukuman bagi pelaku sihaaq ini dengan jilid(cambuk) sebanyak 100 kali, sebagaimana penuturan Ibn Syihab. Adapun menurut salah satu pendapat Syafi'iyyah, mereka dihukum setara hukuman had terendah -yakni had bagi peminum khamr- sebanyak 40 cambuk. (Ibn Hazm, Al Muhalla, 12/404; Musthafa Al Bugha, At-Tadzhib, 1/208.)

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama mengenai hukuman yang dijatuhkan; kita bisa melihat dengan jelas bahwa ulama sepakat bahwa perbuatan lesbi ini termasuk ke dalam tindak kejahatan.
Tidak bisa seseorang yang bodoh dalam agama kemudian mengatakan, bahwa di dalam Islam ada perbedaan pendapat soal LGBT ini.

Kami katakan dengan tegas, tidak ada perbedaan pendapat soal keharaman perilaku homoseks dan lesbi ini. Keduanya adalah tindakan kriminal, dimana pelakunya -baik si subjek maupun objek- jika mereka melakukan perbuatan tersebut secara sadar dan atas pilihan sendiri, perbuatan mereka pantas untuk dikenai hukuman.

Tindakan ini semata mata merupakan penjagaan Islam, dari penyimpangan perilaku yang muncul di tengah tengah ummat.
Tentu pertanyaannya, siapa yang akan menegakkan aturan ini?
Jawabannya tiada lain adalah negara, dan wajib atas pundak kita mewujudkan pemerintahan yang akan menegakkan aturan tersebut. Wallaahul musta'aan.

lisanulama.blogspot.com
Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Senin, 01 Januari 2018

 Nasihat sebagai saudara seiman
(Bacalah dengan perlahan)

Betapa Tauhid dan keimanan kita merupakan kunci kebahagiaan yang kekal dan hakiki.
Saudaraku.. Tahukah engkau bahwa ada banyak manusia yang belum menggapai kunci itu..
Sedih nian hati ini melihat fakta bahwa masih ada saudara muslim kita yang masih abai dengan tauhidnya.. lupa dengan imannya..

Saudaraku.. Kemarin orang orang berbondong bondong meniup terompet.. Menyalakan petasan.. Berpesta pora dan bersorak sorai..

Di antara mereka tidak sedikit yang beragama Islam.. Bahkan generasi penerus agama ini..
Saudaraku.. Beberapa hari yang lalu masih saja ada yang berfatwa bolehnya selamat natal..
Masih saja ada yang meramaikan natal.. Menjaga gereja.. Padahal mereka muslim..

Apa mereka lupa dengan Tauhid mereka?
Apa mereka lupa dengan kalimat, "Laa ilaa ha Illa Allaah".. "Tiada ILAH(Tuhan,Sesembahan) selain Allaah"?

Saudaraku.. Apa masuk akal jika kita telah berikrar bahwa hanya ada satu Tuhan, lantas menyalami dan menyelamati orang orang yang menyekutukan Tuhan?

Apa pantas, seseorang yang dalam hatinya telah terpatri keyakinan kepada Tuhan Yang Esa, meramaikan malam dengan penuh syahwat layaknya kaum yang terhadap Allaah malah mendua?
Saudaraku.. Panutan kita, Baginda Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam pernah berucap :

ﺇِﻥَّ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻟَﻴَﺒْﻜُﻮﻥَ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﻮْ ﺃُﺟْﺮِﻳَﺖِ ﺍﻟﺴُّﻔُﻦُ ﻓِﻲ ﺩُﻣُﻮﻋِﻬِﻢْ ﻟَﺠَﺮَﺕْ، ﻭَﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻟَﻴَﺒْﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﺪَّﻡَ.

"Sesungguhnya penduduk Neraka benar-benar akan menangis, sampai seandainya kapal-kapal dijalankan di atas air mata mereka, niscaya kapal-kapal tersebut akan bisa berlayar, dan sungguh mereka akan menangis dengan mengeluarkan air mata berupa darah.." (HR. Hakim No. 8791. Shahih)

Ada jutaan dan milyaran insan yang dalam hatinya tidak ada iman kepada Allaah..
Jika mereka mati dengan keadaan demikian, tentu akan menjadi musibah amat sangat besar bagi mereka..

Saudaraku.. sikap kita semestinya seperti Baginda Rasullullaah shallallaahu 'alayhi wasallam.

Dari Anas radhiyallaahu 'anhu, ia berkata :


"Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani Nabi. Suatu ketika, ia sakit parah. Hingga kemudian Nabi mendatanginya untuk menjenguknya, dan duduk disamping kepalanya. Nabi berkata kepada anak Yahudi tersebut : "Masuk Islamlah engkau.."pinta Nabi. Lantas anak tersebut menoleh kepada ayahnya yang berada di dekatnya. Ayahnya berkata : "Turutilah Abul Qosim(Nabi)..". Dan akhirnya masuk Islam lah anak ini._
Tatkala Nabi keluar dari rumahnya, beliau berucap : "Segala puji bagi Allaah yang menyelamatkannya dari Api Neraka". (HR. Bukhari No. 1356)
Bukan kita semestinya yang mengikuti mereka, namun mereka lah yang seharusnya mengikuti kita..
Menyelamatkan mereka yang terbelenggu dengan kekufuran dan kesyirikan merupakan tanggung jawab kita..

Ini adalah Misi yang Baginda Rasul titipkan kepada kita.. Betapa baginda senantiasa risau memikirkan ummat ini.. Memikirkan kita..

Saudaraku.. Aku mohon perhatikanlah perkara ini..
Ini menyangkut Tauhid kita.. Ini menyangkut identitas kita sebagai mukmin..

Ya Allaah, Kumpulkan lah kami dalam Syurga Engkau dan Jagalah Tauhid kami..
Selamatkanlah saudara saudara kami yang masih terbelenggu dengan kekufuran dan kesyirikan, dan selamatkanlah mereka dengan Iman.. Aamiin Yaa Mujiibas saailiin..
Nasihat ini adalah nasihat sebagai saudara seiman... Kumohon, renungkanlah..

-Al Faqir ilal Haq Muhammad Rivaldy Abdullah-
Ngaji FIQH
https://telegram.me/ngajifiqh

Sabtu, 23 Desember 2017

MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL DAN IKUT MERAYAKANNYA : SEBUAH MUSIBAH!
oleh : Al Faqir ilal Haq Muhammad Rivaldy Abdullah

Banyak pertanyaan masuk melalui whatsApp maupun Telegram mengenai hukum mengucapkan selamat natal(sekaligus) ikut merayakannya bagi seorang Muslim.

Sebetulnya telah banyak ulama dan para ustadz yang telah membahas hal ini dan kesemuanya sepakat bahwasanya ikut merayakan Natal bagi seorang Muslim adalah sebentuk kekufuran. Hukumnya haram secara mutlak; baik itu sekedar menghadiri saja, apalagi ikut masuk ke gereja dan melakukan
aktivitas ibadah seperti orang orang kafir itu lakukan di sana.

Allaah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur(kemaksiatan), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 72)

Imam Mutawalli As-Sya’rawi(ulama kharismatik Al Azhar Mesir), menafsirkan :

أي: لا يحضرون الباطل في أيّ لون من ألوانه قولاً أو فعلا ً أو إقراراً، وكل ما خالف الحق.

“(Maksud dari kalimat –orang orang yang tidak menyaksikan az-zuur-) yakni : Orang orang yang tidak menyaksikan kebathilan, dalam segala rupanya. Baik berupa ucapan atau tindakan atau ketetapan. (Dan juga tidak menghadiri) segala hal yang menyelisihi al-Haq”. (As-Sya’rawi, Kitab Tafsir As-Sya’rawi, Juz 17/pembahasan Surah Al Furqan)

Imam Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “Az-Zuur (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabi’ bin Anas, al-Qadhi Abu Ya’la dan ad-Dhahak.” (Ibn Taimiyyah, Kitab Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537)

Menyaksikan saja sudah terlarang, apalagi ikut menghadiri dan merayakannya.
Dan dari penjelasan Imam As-Sya’rawi di atas, tentu kita bisa menyimpulkan bahwa mengenakan atribut, pernak pernik serta pakaian hari raya agama lain adalah terlarang. Hal itu sama dengan persetujuan dengan kebathilan mereka.

Dalam hadits penuturan Anas :

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. Ahmad 3/178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

Ibnu Hajar lantas mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Ibn Hajar Al Asqalani, Kitab Fathul Bari, 2/ 442).

Imam As-Suyuthi As-Syafi’I berkata :

واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين من المسلمين من يشاركهم في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف الصالحين المقتفي لآثار نبيه سيد المرسلين

”Dan ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf terdahulu dari kaum muslimin yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka, maka seorang mukmin yang benar (imannya) adalah seseorang yang menempuh jalan salafussholih yang mengikuti jejak sunnah Nabi-Nya, penghulu para Rasul (Muhammad shallallahu ’alayhi wa sallam-).” (As-Suyuthi, Kitab Haqiqat As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 125)

Adapun mengenai hukum mengucapkan selamat natal, semua ulama juga sepakat akan keharamannya. Kecuali segelintir ulama “zaman now” memasukkan perbuatan itu ke dalam perkara muammalah/urusan keduniaan (bukan akidah atau ibadah). Sehingga hukumnya –menurut mereka- adalah boleh boleh saja bagi seorang muslim mengucapkan selamat natal. Bahkan ada ulama Indonesia yang dengan seenaknya mengatakan, bahwa ucapan selamat Natal itu ada di dalam AlQur’an. Yakhrab baytuh!

Padahal Natal bukanlah hari kelahiran Yesus, sebagaimana dituturkan orang orang Kristen sendiri. Dalam Ensiklopedi Katolik, dengan judul : Christmas, akan ditemukan kalimat yang berbunyi sebagai berikut :

”Christmas was not among the earliest festivals of Church...the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to Christmas”.
“Natal bukanlah upacara Gereja yang pertama….melainkan ia diyakini berasal dari Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus” [selesai]. (Catholic Encyclopedia, Ed. 1911)

Karena itu sebetulnya ucapan selamat ini untuk siapa dan dalam rangka apa?!

Ulama ulama salaf dari empat madzhab pun –semoga Allaah senantiasa merahmati mereka yang senantiasa berada di jalan yang lurus- juga telah banyak memfatwakan haramnya mengucapkan selamat/ tahni’ah terkait dengan perayaan agama lain.

Dalam madzhab Syafi’I misalnya. Imam Al Khatib As Syarbini memfatwakan agar orang yang mengucapkan selamat kepada perayaan agama lain untuk di ta’zir/dihukum sebagai tindakan kriminal. (As- Syarbini, Kitab Mughni al-Muhtaj, 4/255)

Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi’I berkata :

ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ ما يُوَافِقُ ما ذَكَرْتُهُ فقال وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى في أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لهم وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فيه وَأَكْثَرُ الناس اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وقد قال صلى اللَّهُ عليه وسلم من تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ منهم بَلْ قال ابن الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شيئا من مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا، وَلَا يُعَارُونَ شيئا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هو مُعَاوَنَةٌ لهم على كُفْرِهِمْ، وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ الْمُسْلِمِينَ من ذلك

"Kemudian aku melihat sebagian imam-imam kami dari kalangan mutakhirin (belakangan) telah menyebutkan apa yang sesuai dengan apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata : "Dan diantara bid'ah yang paling buruk adalah kaum muslimin menyepakati kaum nashrani dalam perayaan-perayaan mereka, yaitu dengan meniru-niru mereka dengan memakan makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, menerima hadiah dari mereka. Dan orang yang paling memberi perhatian akan hal ini adalah orang-orang Mesir. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka"
Bahkan Ibnul Haaj telah berkata, "Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual bagi seorang nashrani apapun juga yang berkaitan dengan kemaslahatan perayaan mereka, baik daging, sayur, maupun baju. Dan tidak boleh kaum muslimin meminjamkan sesuatupun juga kepada mereka meskipun hanya meminjamkan hewan tunggangan karena ini adalah bentuk membantu mereka dalam kekafiran mereka. Dan wajib bagi pemerintah untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut" (Al-Haitami, Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 4/238)

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah –dari madzhab Hanbali- berkata :

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Kitab Ahkaam Ahlidz Dzimmah, 1/441)

Dalam kitab Al-Iqnaa' fi Fiqh al Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam Abu An-Naja Al Maqdisi berpendapat :

ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى وبيعه لهم فيه ومهاداتهم لعيدهم ويحرم بيعهم ما يعملونه كنيسة أو تمثالا ونحوه وكل ما فيه تخصيص كعيدهم وتمييز لهم وهو من التشبه بهم والتشبه بهم منهي عنه إجماعا وتجب عقوبة فاعله

"Dan haram menyaksikan perayaan yahudi dan kaum nasrani, dan haram menjual kepada mereka dalam perayaan tersebut serta haram memberi hadiah kepada mereka karena hari raya mereka. Haram menjual kepada mereka apa yang mereka gunakan (dalam acara mereka) untuk membuat gereja atau patung dan yang semisalnya (seperti untuk buat salib dll-pen). Dan haram seluruh perkara yang yang menunjukkan pengkhususan mereka seperti perayaan mereka, dan seluruh perkara yang menunjukkan pembedaan bagi mereka, dan ini termasuk bentuk tasyabbuh (meniru-niru) mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan/konsus) para ulama. Dan wajib memberi hukuman kepada orang yang melakukan hal ini" (Al Maqdisi, Kitab Al-Iqnaa', 2/49)

Dari madzhab Hanafi :

قَالَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - (وَالْإِعْطَاءُ بِاسْمِ النَّيْرُوزِ وَالْمِهْرَجَانِ لَا يَجُوزُ) أَيْ الْهَدَايَا بِاسْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ حَرَامٌ بَلْ كُفْرٌ وَقَالَ أَبُو حَفْصٍ الْكَبِيرُ - رَحِمَهُ اللَّهُ - لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَبَدَ اللَّهَ تَعَالَى خَمْسِينَ سَنَةً ثُمَّ جَاءَ يَوْمُ النَّيْرُوزِ وَأَهْدَى إلَى بَعْضِ الْمُشْرِكِينَ بَيْضَةً يُرِيدُ تَعْظِيمَ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ وَحَبَطَ عَمَلُهُ وَقَالَ صَاحِبُ الْجَامِعِ الْأَصْغَرِ إذَا أَهْدَى يَوْمَ النَّيْرُوزِ إلَى مُسْلِمٍ آخَرَ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ تَعْظِيمَ الْيَوْمِ وَلَكِنْ عَلَى مَا اعْتَادَهُ بَعْضُ النَّاسِ لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ خَاصَّةً وَيَفْعَلُهُ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ لِكَيْ لَا يَكُونَ تَشْبِيهًا بِأُولَئِكَ الْقَوْمِ، وَقَدْ قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

Beliau (Abul Barokaat An-Nasafi Al-Hanafi) berkata : "Dan memberikan hadiah dengan nama hari raya Nairus dan Mihrojaan tidak diperbolehkan". Yaitu memberikan hadiah-hadiah dengan nama kedua hari raya ini adalah haram bahkan kekufuran. Berkata Abu Hafsh Al-Kabiir rahimahullah : "Kalau seandainya seseorang menyembah Allah Ta'aalaa selama 50 tahun kemudian tiba hari perayaan Nairuuz dan ia memberi hadiah sebutir telur kepada sebagian kaum musyrikin, karena ia ingin mengagungkan hari tersebut maka ia telah kafir dan telah gugur amalannya". Penulis kitab Al-Jaami' As-Ashghor berkata : "Jika pada hari raya Nairuz ia memberikan hadiah kepada muslim yang lain, dan dia tidak ingin mengagungkan hari tersebut akan tetapi hanya mengikuti kebiasaan/tradisi sebagian masyarakat maka ia tidaklah kafir, akan tetapi hendaknya ia tidak melakukannya pada hari tersebut secara khusus, namun ia melakukannya sebelum atau sesudah hari tersebut agar tidak merupakan tasyabbuh dengan mereka. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda ((Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka)). (Ibn Nujaim Al Mishri, Kitab Al-Bahr Ar-Raa’iq Syarh Kanzul Daqaa’iq, 8/555)

Dari madzhab Maliki, Imam Ibnul Haaj Al Maliki berfatwa :

وَبَقِيَ الْكَلَامُ عَلَى الْمَوَاسِمِ الَّتِي اعْتَادَهَا أَكْثَرُهُمْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهَا مَوَاسِمُ مُخْتَصَّةٌ بِأَهْلِ الْكِتَابِ فَتَشَبَّهَ بَعْضُ أَهْلِ الْوَقْتِ بِهِمْ فِيهَا وَشَارَكُوهُمْ فِي تَعْظِيمِهَا يَا لَيْتَ ذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي الْعَامَّةِ خُصُوصًا وَلَكِنَّك تَرَى بَعْضَ مَنْ يَنْتَسِبُ إلَى الْعِلْمِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ... بَلْ زَادَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُمْ يُهَادُونَ بَعْضَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي مَوَاسِمِهِمْ وَيُرْسِلُونَ إلَيْهِمْ مَا يَحْتَاجُونَهُ لِمَوَاسِمِهِمْ فَيَسْتَعِينُونَ بِذَلِكَ عَلَى زِيَادَةِ كُفْرِهِمْ

Tersisa pembicaraan tentang musim-musim (hari-hari raya) yang biasa dilakukan oleh kebanyakan mereka padahal mereka mengetahui bahwasanya hari-hari raya tersebut adalah khusus hari raya ahul kitab. Maka sebagian orang zaman ini bertasyabbuh dengan mereka (ahlul kitab), menyertai mereka dalam mengagungkan hari-hari raya tersebut. Duhai seandainya tasyabbuh tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang muslim awam, akan tetapi engkau melihat sebagian orang yang berafiliasi kepada ilmu juga melakukan hal tersebut. Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi hingga mereka memberikan hadiah kepada sebagian ahlul kitab pada hari-hari raya mereka, mengirimkan untuk mereka apa yang mereka butuhkan dalam perayaan mereka, sehingga dengan hal ini para ahlul kitab terbantukan untuk lebih terjerumus dalam kekafiran. (Ibnul Haaj, Kitab Al-Madkhal, 2/46-48)

Kesemua ulama itu dengan jelas dan tegas melarang mengucapkan selamat dan ikut berbahagia dengan perayaan agama lain. Apakah ulama ulama itu bodoh? Tentu tidak. Apakah ulama ulama itu ilmunya tidak bersanad? Tentu tidak.

Yang jelas, ulama ulama itu tidak berfatwa dengan harapan agar mereka dianggap toleran, lembut, dan bijak. Mereka tidak berfatwa UNTUK MENCARI MUKA DAN AGAR TIDAK DISEBUT EKSTREMIS/RADIKAL. Semoga Allaah menjaga mereka, yang telah berusaha menjaga Dien ini yang mulia.

Apakah orang orang yang memfatwakan bolehnya ucapan selamat, adalah orang orang yang cari muka dan ingin disebut arif bijaksana?Kami tidak mengatakan demikian.

Yang jelas, alasan orang orang itu membolehkan ucapan selamat natal karena hal ini bagian dari mujaamalah(basa basi) dan cara untuk merangkul mereka dengan Islam yang Toleran.
Kami ingin katakan bahwa mereka –orang orang kafir- tatkala mereka mati dengan kekafiran mereka, mereka akan dipanggang dalam neraka jahannam selamanya. Entah itu bisa jadi diantara mereka adalah saudara kita, teman kita, atau tetangga tetangga kita. Na’udzubillaahi min dzalik.

Sekarang kami bertanya : Tegakah kita membiarkan mereka kelak dipanggang di dalam Neraka Jahannam dan kekal didalamnya? Tegakah kita melihat mereka tersiksa –dengan siksaan yang amat dahsyat- di dalam neraka dan hal itu tiada berujung?! Tentu kita tidak boleh sedikitpun tega.

Bahkan, kalau lah boleh kami MEMAKSA MEREKA DENGAN PEDANG agar mereka masuk ke dalam Dien Islam, tentu akan kami lakukan. Mengingat nasib mereka yang menyedihkan kelak di akhirat. Tidakkah kita iba dengan nasib mereka kelak di Akhirat?!Kasihanilah mereka, wahai saudaraku seiman.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

”Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan pernah diterima (agama tersebut) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

Karena itulah, ucapan selamat dan dukungan atas perayaan hari raya agama lain adalah tindakan yang amat bodoh lagi jahat. Tindakan itu akan membuat orang orang kafir itu berpikir, bahwasanya apa yang mereka lakukan adalah perkara yang sah sah saja dan tidak akan membawa musibah. Padahal justeru sebaliknya. Apa yang mereka perbuat itu akan menjadi musibah bagi mereka dunia dan akhirat!

Khalifah Umar Ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berucap :

إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِم

“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (HR. Al-Baihaqi)

Khalifah Umar Ibnul Khattab bahkan melarang orang orang kafir dzimmi(yang berada dibawah pemerintahan Islam), untuk menampakkan syiar syiar hari raya mereka. Tidak boleh ada pernak pernik hari raya mereka di tengah tengah kaum Muslimin. (As-Suyuthi, Kitab Haqiqat As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 125)

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨)لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩)تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠)أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١)وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)

Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR(JELEK). Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menyerukan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak, dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (QS Maryam : 88-92).

Perhatikan lah urusan ini, saudaraku.. Demi Allaah ini bukan urusan yang sepele.Wallaahul musta’aan.
lisanulama.blogspot.com II www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Rabu, 20 Desember 2017

Jika Telinga Berdenging.
 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH


Ustad Rifaldi.. Benarkah kalau telinga berdenging kita dianjurkan shalawat?

-- Jawab --

Pendapat itu disandarkan pada sebuah hadits. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :


Dari Abu Rafi’ radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :
إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، وَلْيَقُلْ: ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Jika berdenging telinga salah seorang kalian maka ingatlah kepadaku dan bershalawatlah kepadaku, dan hendaknya dia berkata : DZAKARALLAHU MAN DZAKARANIY BIKHAIR – Allah akan mengingat siapa pun yang mengingatku dengan kebaikan.”

Hadits ini dikeluarkan oleh :
(1). Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 958, Al Awsath No. 9222, Ash Shaghir No. 1104. Beliau berkata dalam Al Awsath: “Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu Rafi’ kecuali dari isnad seperti ini, dan Ma’mar bin Muhammad menyendiri dalam meriwayatkannya.”
(2). Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa, 4/261, dia berkata: “Dia (Ma’mar bin Muhammad) haditsnya tidak bisa diikuti, dan dia tidak diketahui kecuali dengan isnad ini.”
(3). Ar Ruyani dalam Musnad-nya No. 718, Al Khara-ithiy dalam Makarimul Akhlaq No. 982
(4). Ibnus Sunniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 166
(5). Al Bazzar dalam Musnad-nya No. 3884, tanpa kalimat: “bershalawatlah kepadaku”
(6). Al Baihaqi dalam Ad Da’awat Al Kabir No. 490
(7). Yahya Asy Syajariy dalamTartib Al Amaliy No. 630


Namun, status hadits ini mesti dikaji terlebih dahulu. Tentang hadits di atas, Al Hafizh As Sakhawi mengatakan :

حَدِيث: إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي، وَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّه بِخَيْرٍ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ، الطبراني وابن السني في عمل اليوم والليلة، والخرائطي في المكارم، وآخرون عن أبي رافع مرفوعا بهذا، وسنده ضعيف، بل قال العقيلي: إنه ليس له أصل

"Hadits “Jika berdenging telinga salah seorang kalian maka ingatlah kepadaku dan bershalawatlah kepadaku, dan hendaknya dia berkata: DZAKARALLAHU MAN DZAKARANIY BIKHAIR – Allah akan mengingat siapa pun yang mengingatku dengan kebaikan.” Diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Ibnus Sunniy dlm amalul yaum wal lailah, Al Kharaitiy dalam Al Makarim, dan lainnya, dari Abu Rafi', secara marfu', dan sanadnya DHA'IF, bahkan Al 'Uqaili mengatakan: LAISA LAHU ASHL-tidak ada dasarnya." *(Al Maqashid Al Hasanah, 1/89)*

Imam Ibnul Qayyim juga mengatakan :

وَكُلُّ حَدِيثٍ فِي طَنِينِ الأُذُنِ فَهُوَ كِذْبٌ

"Semua hadits yang menyebutkan tentang telinga berdenging adalah DUSTA." *(Al Manar Al Munif, no. 119)*

Komentar Imam Asy Syaukani :

رَوَاهُ الْعُقَيْلِيُّ عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَرْفُوعًا. قِيلَ: هُوَ موضوع

Diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dari Abu Rafi’ secara marfu’. Dikatakan bahwa hadits ini palsu. *(Al Fawaid Al Majmuah, Hal. 224. Pentahqiq kitab ini: Syaikh Abdurraman bin Yahya Al Mua’limi Al Yamani mengatakan: “Seperti itulah hadits ini.”)*


Akan tetapi ada pendapat lain mengenai status hadits ini. Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini mengomentari ucapan Imam Ath-Thabrani:

“Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu Rafi’ kecuali dari isnad seperti ini, dan Ma’mar bin Muhammad menyendiri dalam meriwayatkannya.”

Juga Imam Al ‘Uqaili yang berkata: “Dia (Ma’mar bin Muhammad) haditsnya tidak bisa diikuti, dan dia tidak diketahui kecuali dengan isnad ini.”

Abu Ishaq mengatakan: “Semoga Allah meridhai kalian berdua!” Lalu Beliau menyebutkan beberapa sanad lain yang menjadi mutaba’ah (penguat) bagi sanad Ma’mar bin Muhammad, yaitu:

- Habban bin ‘Ali, berkata kepada kami: Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’, dengan sanad yang sama. (Ibnus Sunni, Al Yaum wal lailah No. 166, Ibnu ‘Adi, Al Kamil, 2/ 2126-2152)

- Mandal bin ‘Ali (Al Khat-ithiy, Makarimul Akhlaq No. 1022). *(Lihat, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Tanbih Al Hajid, 1/220-221)*


Al Hafizh Nuruddin Al Haitsami mengatakan: "Isnadnya Ath Thabarani dalam Al Kabir adalah hasan." *(Majma' Az Zawaid, 10/138)*

Oleh karena itu Az Zabidiy berkata:
"Tetapi Al Haitsami mengatakan isnad Thabrani dalam Al Kabir adalah hasan, ini membatalkan tudingan orang-orang yang mengatakan dha'if terlebih lagi yang menyatakan palsu, seperti Ibnul Jauzi dan Al 'Uqaili. Sedangkan Al Munawi dalam syarahnya terhadap Jaami' Ash Shaghir menyebutkan bahwa ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya, dengan lafaz seperti itu dari Abu Rafi'. Dan, Imam Ibnu Khuzaimah adalah seorang yang berkomitmen dalam kitabnya utk mencantumkan yang shahih, maka ketahuilah!!" *(Takhrij Ahadits Ihya 'Ulumuddin, 2/831)*

Kesimpulannya :

Para ulama tidak sepakat atas kedhaifan hadits ini walau mayoritas meragukan keshahihannya bahkan menganggapnya palsu.

Hal ini tentu saja berimplikasi pada kehujjahannya, bagi yang menganggapnya dhaif dan palsu hadits ini tidak layak diamalkan. Bagi yang menilainya shahih dan hasan, tentu mereka tidak berhalangan mengamalkannya.

Sekalipun dhaif, akhirnya tidak sedikit yang tetap menjadikannya sebagai hujjah untuk fadhailul a’mal. Karena itu, jika telinga berdenging bershalawatlah. Tidak ada salahnya.

Ingat, perkara ini tidak boleh menjadi sebab keributan sesama muslim. Wallahu a'lam || lisanulama.blogspot.com

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...