Minggu, 12 Maret 2017

SOAL JAWAB FIQIH 8

Assalamualaikum tadz, izin bertanya. Bagaimana hukumnya mengadakan nikah ulang massal?

Banyak masyarakat di beberapa desa yang belum memiliki Kartu Keluarga disebabkan tidak punya buku nikah karena nikahnya tidak terdaftar di KUA. Sementara dokumen kependudukan sangat penting digunakan baik ia berkaitan dengan pendidikan maupun dengan kebijakan program-program pemerintah dan semua itu bisa didapatkan jika administrasinya lengkap.

Nah karena tidak memiliki buku nikah yang menjadi kendala untuk membuat administrasi kependudukan lainnya maka harus ada nikah ulang, berhubung masyarakatnya masih banyak yang belum punya buku nikah, maka diadakan nikah ulang massal, hukumnya bagaimana tadz?,

Soalnya secara agama nikahnya sebetulnya sah. Hanya tidak terdaftar di KUA/Negara. Syukron tadz...


---
Jawab :

Nikah, merupakan sunnah baginda Nabi saw. Tiada satu pun dalam sunnah sunnah beliau yang memberatkan bagi manusia, termasuk diantaranya nikah.

Dalil dianjurkannya menikah ialah :

" وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ "


"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa[4] : 32)


Rasulullâh shallallâhu alayhi wasallam bersabda :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'” (HR. Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi)


Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullâh shallallâhu alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ

Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. al Bayhaqi)


Hakikat dari makna Nikah ialah Aqad. Sedang makna majazi nya ialah al wath'u(الوطء) yang berarti bercampur. (Kifâyatul Akhyâr, hal. 35)


Karena hakikat Nikah adalah Aqad, maka ketahuilah bahwa Aqad mempunyai rukun seperti berikut :


1. Shigah. Jumhur fuqaha menetapkan definisi bahwa shigah adalah ijab kabul yang ditunaikan pada saat itu juga.(Ad Dassuqi, Al Ahwâl As Syakhsiyyah fi Madzhab As Syafi'i, hal. 51).

 Madzhab Syafi'i, dalam hal ini membolehkan shigat ijab kabul  dengan selain bahasa Arab. Sebagian Ulama yang lain tidak mensahkan ijab dan kabul kecuali dengan bahasa arab. Yang rajih adalah yang pertama, dimana aqad tidak harus berbahasa Arab, meskipun itu awla(lebih utama).(As Syarbini, Mughni al Muhtâj, 4/236).

Madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali melarang ijab kabul dengan bentuk tertulis(bagi mereka yang mampu berbicara), meski pada saat itu majelis aqad tidak dihadiri oleh banyak orang. Pendapat ini berbeda dengan madzhab Hanafi, yang mensahkan aqad nikah dalam bentuk tertulis.(Mughni Al Muhtâj, 4/237; Bada'i As Shona'i, 2/231)

Sebagian fuqaha menetapkan syarat-syarat sah bagi shigat. Diantaranya :

 a. Adanya kerelaan dari kedua orang yang berakad. Sebagian ulama mensyaratkan adanya keridlaan dari sang mempelai wanita. Sebagian lagi tidak mensyaratkan demikian. Hanya keridlaan wali lah yang menentukan. Akan dibahas di pembahasan mendatang. Madzhab Syafi'i dan Maliki mensyaratkan ketiadaan jeda antara ijab dan kabul(mesti langsung disambung). Sedangkan Madzhab Hanbali dan Hanafi tidak mensyaratkan demikian.

b. Kedua orang yang beraqad mendengar dari lafadz masing masing dan mafhum dengan maksud yang disampaikan satu sama lain. Dalam hal ini, termasuk ta'yin az zawjayn (menentukan dengan jelas siapa yang menikah), demi selamat dari kesalahpahaman. Umpama ia memiliki anak perempuan dua orang, maka ia sebutkan nama anak yang ia ingin nikahkan atau ia sebutkan sifatnya. Misal, "Aku nikahkan engkau dengan putriku yang paling besar".

Dan disyaratkan pula bahwa nikah dalam aqad tersebut tidak diikat dengan waktu. Maka tidak sah, jika mengatakan, "aku nikahkan engkau dengan putriku selama sebulan", maka hal itu termasuk ke dalam nikah mut'ah yang terlarang. (Mughni al Muhtaj, 4/239)

2. Kondisi kedua mempelai. Maka sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akad mensyaratkan adanya ta'yin (penentuan yang jelas) akan siapa yang menikah. Dipastikan pula bahwa si calon perempuan bukanlah perempuan yang diharamkan untuk dinikahi(mahrom muabbad) bagi si laki laki. Dan disyaratkan pula bahwa si perempuan haruslah perempuan hakiki, bukan 'transgender/waria'. Seandainya perempuan itu khuntsa'(transgender) maka aqadnya tidak sah. Termasuk juga aqad tersebut bukan aqad dalam rangka menikahkan perempuan muslimah dengan laki laki non muslim, karena hal tersebut diharamkan. (Al Majmu, 16/302). Akan kami paparkan di pembahasan selanjutnya.

3. Adanya wali dan dua orang saksi. Dan syarat bagi wali serta saksi ialah : -Muslim, -Akil Baligh, -Berakal, -Merdeka, -Laki laki, -'Adalah(memiliki sifat adil dan amanah).(Kifâyatul Akhyâr, 2/89)(Al Iqnâ', hal. 551-552).

Dalil nya ialah :

فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن

"..maka janganlah kamu halangi mereka untuk menikah(lagi) dengan calon calon suaminya" (QS. Al Baqarah[2]: 232). 

Ayat ini turun berkenaan dengan Ma'qal Ibn Yasar, yang bersumpah untuk tidak menjadi wali dan menikahkan saudarinya, yang ingin menikah lagi dengan mantan suaminya. Seandainya bagi perempuan itu hak beraqad(tidak perlu wali),  maka Allah dalam hal ini tidak akan melarang perbuatan "menghalangi" dari si wali(jika memang si perempuan dapat menikahkan dirinya sendiri).(Sayyid Sabiq, Fiqhu As Sunnah, hal. 386)
Juga Nabi saw bersabda :

لا نكاح إلا بولي و شاهدي عدل

"Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil" (HR. Ahmad, dan Bayhaqi)

Pertanyaan selanjutnya, apakah jika aqad nikah diulangi untuk kedua kali atau kesekian kali, apakah itu termasuk ke dalam perkara mubah, atau sesuatu yang dilarang?

Para Ulama khilaf dalam masalah ini. Sebagian membolehkan dengan alasan bahwa sebetulnya akad yang kedua tidak memberikan atsar(efek) apa apa. Dan itu dilakukan tersebab karena ada maksud yang dituju(sebagaimana yang dijelaskan dalam soal). Sedangkan pendapat kedua mengatakan, hal tersebut tidak boleh karena hal itu bukanlah sesuatu yang masyru'(disyari'atkan), dan sama artinya beraqad diatas aqad yang lain. Dan ini bathil. Mereka berdalil dengan hadits Nabi saw :

أيما امرأة زوجها وليّان فهي للأول منهما، و من باع بيعا من رجلين فهو للأول منهما

"Perempuan mana saja yang dinikahkan oleh dua orang wali(dua aqad), maka perempuan tersebut sah/milik yang pertama. Dan barangsiapa yang menjual barang bagi dua orang, maka ia sah/milik bagi yang pertama(membeli)". (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).


Adapun jika ia mau, maka ia ceraikan terlebih dahulu istrinya dan ia nikahi kembali istrinya dibarengi aqad baru, mahar baru dan didampingi oleh wali dan dua orang saksi. In Sya Allaah akan dibahas di pembahasan selanjutnya.Wallâhu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...