Assalamualaikum tadz, izin bertanya. Bagaimana
hukumnya mengadakan nikah ulang massal?
Banyak masyarakat di beberapa desa yang belum
memiliki Kartu Keluarga disebabkan tidak punya buku nikah karena nikahnya tidak
terdaftar di KUA. Sementara dokumen kependudukan sangat penting digunakan baik
ia berkaitan dengan pendidikan maupun dengan kebijakan program-program pemerintah
dan semua itu bisa didapatkan jika administrasinya lengkap.
Nah karena tidak memiliki buku nikah yang
menjadi kendala untuk membuat administrasi kependudukan lainnya maka harus ada
nikah ulang, berhubung masyarakatnya masih banyak yang belum punya buku nikah,
maka diadakan nikah ulang massal, hukumnya bagaimana tadz?,
Soalnya secara agama nikahnya sebetulnya sah.
Hanya tidak terdaftar di KUA/Negara. Syukron tadz...
---
Jawab :
Nikah, merupakan sunnah baginda Nabi saw.
Tiada satu pun dalam sunnah sunnah beliau yang memberatkan bagi manusia,
termasuk diantaranya nikah.
Dalil dianjurkannya menikah ialah :
" وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ "
"Dan nikahkanlah orang-orang yang
sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nisa[4] : 32)
Rasulullâh shallallâhu alayhi wasallam
bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara
kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan
pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai
tameng).'” (HR. Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu,
bahwasanya Rasulullâh shallallâhu alayhi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah
menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada
Allah untuk separuh yang tersisa.” (HR. al Bayhaqi)
Hakikat dari makna Nikah ialah Aqad. Sedang
makna majazi nya ialah al wath'u(الوطء) yang
berarti bercampur. (Kifâyatul Akhyâr, hal. 35)
Karena hakikat Nikah adalah Aqad, maka
ketahuilah bahwa Aqad mempunyai rukun seperti berikut :
1. Shigah. Jumhur fuqaha menetapkan definisi
bahwa shigah adalah ijab kabul yang ditunaikan pada saat itu juga.(Ad Dassuqi,
Al Ahwâl As Syakhsiyyah fi Madzhab As Syafi'i, hal. 51).
Madzhab
Syafi'i, dalam hal ini membolehkan shigat ijab kabul dengan selain bahasa Arab. Sebagian Ulama
yang lain tidak mensahkan ijab dan kabul kecuali dengan bahasa arab. Yang rajih
adalah yang pertama, dimana aqad tidak harus berbahasa Arab, meskipun itu
awla(lebih utama).(As Syarbini, Mughni al Muhtâj, 4/236).
Madzhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali melarang
ijab kabul dengan bentuk tertulis(bagi mereka yang mampu berbicara), meski pada
saat itu majelis aqad tidak dihadiri oleh banyak orang. Pendapat ini berbeda
dengan madzhab Hanafi, yang mensahkan aqad nikah dalam bentuk tertulis.(Mughni
Al Muhtâj, 4/237; Bada'i As Shona'i, 2/231)
Sebagian fuqaha menetapkan syarat-syarat sah
bagi shigat. Diantaranya :
a. Adanya kerelaan dari kedua orang yang berakad.
Sebagian ulama mensyaratkan adanya keridlaan dari sang mempelai wanita.
Sebagian lagi tidak mensyaratkan demikian. Hanya keridlaan wali lah yang
menentukan. Akan dibahas di pembahasan mendatang. Madzhab Syafi'i dan Maliki
mensyaratkan ketiadaan jeda antara ijab dan kabul(mesti langsung disambung).
Sedangkan Madzhab Hanbali dan Hanafi tidak mensyaratkan demikian.
b. Kedua orang yang beraqad mendengar dari
lafadz masing masing dan mafhum dengan maksud yang disampaikan satu sama lain.
Dalam hal ini, termasuk ta'yin az zawjayn (menentukan dengan jelas siapa yang
menikah), demi selamat dari kesalahpahaman. Umpama ia memiliki anak perempuan
dua orang, maka ia sebutkan nama anak yang ia ingin nikahkan atau ia sebutkan
sifatnya. Misal, "Aku nikahkan engkau dengan putriku yang paling
besar".
Dan disyaratkan pula bahwa nikah dalam aqad
tersebut tidak diikat dengan waktu. Maka tidak sah, jika mengatakan, "aku
nikahkan engkau dengan putriku selama sebulan", maka hal itu termasuk ke
dalam nikah mut'ah yang terlarang. (Mughni al Muhtaj, 4/239)
2. Kondisi kedua mempelai. Maka sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa akad mensyaratkan adanya ta'yin (penentuan yang jelas)
akan siapa yang menikah. Dipastikan pula bahwa si calon perempuan bukanlah
perempuan yang diharamkan untuk dinikahi(mahrom muabbad) bagi si laki laki. Dan
disyaratkan pula bahwa si perempuan haruslah perempuan hakiki, bukan
'transgender/waria'. Seandainya perempuan itu khuntsa'(transgender) maka
aqadnya tidak sah. Termasuk juga aqad tersebut bukan aqad dalam rangka menikahkan
perempuan muslimah dengan laki laki non muslim, karena hal tersebut diharamkan.
(Al Majmu, 16/302). Akan kami paparkan di pembahasan selanjutnya.
3. Adanya wali dan dua orang saksi. Dan syarat
bagi wali serta saksi ialah : -Muslim, -Akil Baligh, -Berakal, -Merdeka, -Laki
laki, -'Adalah(memiliki sifat adil dan amanah).(Kifâyatul Akhyâr, 2/89)(Al
Iqnâ', hal. 551-552).
Dalil nya ialah :
فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن
"..maka janganlah kamu halangi mereka
untuk menikah(lagi) dengan calon calon suaminya" (QS. Al Baqarah[2]: 232).
Ayat ini turun berkenaan dengan Ma'qal Ibn Yasar, yang bersumpah untuk tidak
menjadi wali dan menikahkan saudarinya, yang ingin menikah lagi dengan mantan
suaminya. Seandainya bagi perempuan itu hak beraqad(tidak perlu wali), maka Allah dalam hal ini tidak akan melarang
perbuatan "menghalangi" dari si wali(jika memang si perempuan dapat
menikahkan dirinya sendiri).(Sayyid Sabiq, Fiqhu As Sunnah, hal. 386)
Juga Nabi saw bersabda :
لا نكاح إلا بولي و شاهدي عدل
"Tidak ada nikah kecuali dengan adanya
wali dan dua orang saksi yang adil" (HR. Ahmad, dan Bayhaqi)
Pertanyaan selanjutnya, apakah jika aqad nikah
diulangi untuk kedua kali atau kesekian kali, apakah itu termasuk ke dalam
perkara mubah, atau sesuatu yang dilarang?
Para Ulama khilaf dalam masalah ini. Sebagian
membolehkan dengan alasan bahwa sebetulnya akad yang kedua tidak memberikan
atsar(efek) apa apa. Dan itu dilakukan tersebab karena ada maksud yang
dituju(sebagaimana yang dijelaskan dalam soal). Sedangkan pendapat kedua
mengatakan, hal tersebut tidak boleh karena hal itu bukanlah sesuatu yang
masyru'(disyari'atkan), dan sama artinya beraqad diatas aqad yang lain. Dan ini
bathil. Mereka berdalil dengan hadits Nabi saw :
أيما امرأة زوجها وليّان فهي للأول منهما، و من باع بيعا من رجلين فهو للأول منهما
"Perempuan mana saja yang dinikahkan oleh
dua orang wali(dua aqad), maka perempuan tersebut sah/milik yang pertama. Dan
barangsiapa yang menjual barang bagi dua orang, maka ia sah/milik bagi yang
pertama(membeli)". (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Adapun jika ia mau, maka ia ceraikan terlebih
dahulu istrinya dan ia nikahi kembali istrinya dibarengi aqad baru, mahar baru
dan didampingi oleh wali dan dua orang saksi. In Sya Allaah akan dibahas di
pembahasan selanjutnya.Wallâhu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar