Kamis, 29 Juni 2017

Kebangkitan Hakiki yang Dijanjikan


Layaknya kebahagiaan seorang musafir yang menemui oase di tengah gurun setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, seperti itulah kebahagiaan yang dirasakan mayoritas muslim ketika datang padanya hari raya Idul Fitri. Berbahagia karena telah selesai melaksanakan puasa sebulan penuh dengan penuh cobaan dan rintangan. Berbahagia karena liburnya kantor dan sekolah-sekolah, atau karena cairnya THR dan gaji bulanan, atau karena maraknya diskon di pusat-pusat perbelanjaan, dsb. Media cetak ataupun televisi juga akan dipenuhi untaian-untaian kalimat selamat atas datangnya hari raya Idul Fitri, sebagian berbunyi “raih kebangkitan hakiki di hari yang fitri” atau “sambut kemenangan di hari raya idul fitri”.

Memang kebahagiaan ini merupakan hal yang wajar, dan merupakan salah satu dari kebahagiaan yang Rasulullah saw janjikan kepada umatnya, dalam sabdanya yang artinya, “orang yang berpuasa diberi dua kebahagiaan : kebahagiaan saat berbuka (termasuk saat idul fitri) dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabb-nya karena puasanya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Namun selayaknya kita berpikir: apakah kaum muslim benar-benar telah meraih kebangkitan dan kebahagiaannya yang hakiki? Sudahkah kita raih tujuan utama puasa di bulan Ramadhan?

Allah swt telah menjelaskan kepada kita tujuan dan hikmah puasa yang harus kita raih, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS al-Baqarah [2]: 183).

La’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Itulah hikmah yang akan diraih oleh orang-orang yang berpuasa menurut ayat ini,  Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh dalam kitabnya, Zâd al-Muhâjir ilâ Rabihi, juga berkata“hakikat takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar iman dan mengharapkan ridha-Nya, baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang; lalu melakukan apa saja yang Allah SWT perintahkan karena mengimani perintah-Nya dan membenarkan janji-Nya, serta meninggalkan apa saja yang Allah larang karena mengimani larangan-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”

Inilah taqwa, dan inilah yang diharapkan akan terwujud setelah menjalankan ibadah puasa, maka sudahkah taqwa itu terpatri dalam diri kita? Sudahkah kita laksanakan segala perintah dan larangan-Nya? Sudahkah syari’at-Nya kita terapkan untuk mengatur segala urusan kita?

Kita lihat di Indonesia, bagaimana khamr tidak dilarang penggunaannya dan tidak dihukum peminumnya, bahkan dijual bebas di banyak tempat di kota-kota besar. Prostitusi yang kian merajalela, bahkan kesannya difasilitasi oleh pemerintah. Hukum-hukum islam yang dicampakkan dan diganti dengan hukum sekular buatan manusia, yang tentu saja menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan di tengah-tengah kehidupan umat islam, kemiskinan, kriminalitas, rusaknya moral anak bangsa, juga pelecehan agama islam yang akhir-akhir marak dilakukan, sungguh semua itu merupakan buah pahit dari dicampakkannya hukum-hukum islam dalam mengatur kehidupan. Padahal ketakwaan itu harus direalisasikan oleh individu, juga masyarakat yaitu dengan senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah SWT di dalam kehidupan. Caranya adalah dengan menjadikan halal dan haram atau Syariah Islam sebagai standar dalam kehidupan. Dengan kata lain, yang halal diambil dan dilaksanakan sedangkan yang haram dijauhi dan ditinggalkan.

Maka sungguh tidak ada jalan lain untuk meraih totalitas dalam ketakwaan juga kebangkitan umat ini, selain dengan penerapan islam secara kaffah yang dilindungi oleh konstitusi Khilafah. Allah SWT berfirman:

﴿ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾

“Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi”. (TQS al-A’raf [7]: 96).

Sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan penduduk negeri agar mereka beriman dan bertakwa dalam kehidupan bermasyarakat, di lain sisi Allah SWT juga menjanjikan kepada siapapun yang beriman dan bertakwa, di saat yang bersamaan kemakmuran dan kesejahteraan dalam penghidupan dunia, sebaliknya jika kita berpaling dari ketaatan kepada-Nya, yakni dengan mencampakkan syariat-Nya, maka sungguh baginya kesengsaraan dan penghidupan yang sempit sebagaimana yang umat saat ini rasakan, Allah SWT berfirman:

﴿ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى﴾

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta”. (TQS. Thaha [20]: 124).

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323).

Oleh karenanya, metode yang ditempuh untuk meraih kemenangan dan kebangkitan hakiki adalah dengan menegakkan kekuasaan yang didasari dengan aqidah islamiyah, yaitu pemerintahan Islam, Khilafah Rosyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Inilah kekuasaan yang telah Allah SWT janjikan untuk meraih kebangkitan hakiki, kemerdekaan dari kemalangan, kerusakan, dan kesempitan hidup di dunia, juga kemerdekaan dari jilatan api neraka yang panas menyakitkan di akhirat kelak.

Allah SWT telah berjanji dalam firman-Nya:

﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”. (TQS. An-Nuur [24]: 55).

terkait firmaan Alloh SWT :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ﴾ ﴿
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”.

Term kalimat layastakhlifanna (sungguh akan menjadikan mereka berkuasa/memberikan kekuasaan kepada mereka) dan istakhlafa (telah memberi kekuasaan) adalah pangkal dari bentuk negara islam, yaitu khilafah. Karena dalam ilmu shorof kedua fi’il ini (layastakhlifanna dan istakhlafa) merupakan fi’il sudatsi mazid dari fi’il mujarrad “khalafa, yakhlufu, khilafah”, dimana dari kata ini terbentuknya kata “khilafah”.

Jadi Allah berjanji akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, dengan negara Khilafah dimana Khalifah sebagai kepala negaranya, bukan dengan bentuk negara dan kepala negara yang lain. Kesimpulan ini juga telah dijelaskan oleh Sunnah. Nabi SAW bersabda:
ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓُ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺛُﻢَّ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻓَﻌَﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ...  ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ﺛُﻢَّ ﺳَﻜَﺖَ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ
“Di tengah kalian sedang ada kenabian, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian, … … … Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian". Kemudian beliau diam". HR Ahmad Dari Hudzaifah bin al-Yaman RA.



Kedua, terkait firman Alloh SWT:

وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً
Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa”.

Dengan demikian juga, setelah tegaknya Khilafah, kita telah meraih dua kemerdekaan sekaligus: 
1)
Kemerdekaan dari penjajahan agama, yaitu pemurtadan yang dilakukan penjajah. Karena hukum-hukum yang diterapkan oleh negara Khilafah terhadap masyarakatnya, adalah hukum-hukum Islam, karena agama yang dimaksud adalah agama Islam. Sedang pengertian agama yang diteguhkan adalah agama yang hukum-hukumnya diterapkan secara sempurna dalam semua lini kehidupan, masyarakat dan negara.

2) Kemerdekaan dari rasa ketakutan akibat berlangsungnya berbagai jenis penjajahan, yaitu rasa takut akan kemalangan, kesengsaraan dan penderitaan hidup akibat kezaliman dan keserakahan penjajah, juga rasa takut yang mendalam akan azab Allah di akhirat kelak, akibat pengabaian terhadap hukum-hukum-Nya.

Lalu di puncak kebangkitan hakiki, kaum muslimin dapat beribadah kepada Allah Swt secara sempurna. Allah Swt berfirman :

يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً

Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun”.

Menyembah Allah SWT hakikatnya adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, baik itu yang berupa perbuatan seorang hamba dengan Rabbnya, seperti sholat, puasa, haji, atau yang berkaitan dengan dirinya sendiri, seperti akhlaq, makanan, dan minuman. Juga perbuatan yang mengatur hubungannya dengan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, seperti bergaul, berpendidikan, berekonomi, berpolitik, berhukum, semua harus berlandaskan Syariat Islam.

Tidak mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun, artinya tidak hanya menyekutukan-Nya dengan menyembah berhala, batu, pohon, kuburan, keris. Akan tetapi menyekutukan-Nya juga berarti mengambil hukum selain hukum-Nya, yaitu dengan mengambil hukum produk manusia yang sarat kepentingan dan kecacatan.

Ada satu ungkapan yang sangat baik yang disampaikan oleh salah satu imam besar, yaitu imam Malik, beliau adalah amirul mu’minin fil hadist, dalam syairnya beliau berkata:

وَلَا يُصْلِحُ آخرَ هذه الأمة إلا ما أصْلَحَ أَوَّلَهَا

“Dan tidaklah akhir dari umat ini menjadi baik kecuali dengan apa-apa yang bisa membuat awal umat ini menjadi baik”.

Kata mutiara yang disampaikan Imam Malik ini semakin menegaskan kita, bahwa hanya Islam lah satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat ini untuk mengembalikan kebangkitan, kejayaan, dan keagungannya. Sebagaimana Islam pula lah yang telah membangkitkan umat ini dahulu, mengangkat mereka dari hinanya kekufuran dan kejahilan menuju agungnya dengan Islam.

*Penulis adalah Ahmad TI. Santri Ma'had Al Mufasi Kairo - Mahasiswa Universitas Al Azhar Mesir.













Referensi:






4 komentar:

  1. apakah penerapan hukum islam sesuai dengan keadaan Indonesia yang penduduknya tidak semuanya umat islam? terus bagaimana nasib umat non-muslimnya?(dri kawan saya)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ummat Non Muslim akan dijamin hak ibadah serta kehidupan rohaninya. Tidak akan diganggu dan rumah ibadahnya tidak akan diintimidasi. Islam menjamin itu. Coba buka referensi soal "Kafir Dzimmi" dalam Islam.

      Hapus

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...