Minggu, 12 Maret 2017

FIQIH SIYASAH

Fiqih Siyasah

*Islam Agama Politik*


Dari segi wilayah ajarannya, Islam bukan saja agama yang mengurusi masalah rûhiyyah (spiritual), akan tetapi juga meliputi masalah politik (siyâsiyyah). Hal ini karena kesempurnaan yang melekat pada Islam, sebagaimana definisi Syaikh Taqiyuddin An Nabhani -rahimahullah-, “Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya”.

Berdasarkan definisi di atas, maka syariat Islam sendiri berisi aturan (sistem) yang bisa diklasifikasikan menjadi tiga macam:

1. Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan Penciptanya (Allah SWT) , dalam seperti perkara aqidah dan ibadah, baik shalat, puasa, zakat, haji maupun jihad.
2. Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan individu dengan dirinya sendiri, seperti hukum pakaian, makanan, minuman dan akhlak, yang mencerminkan sifat dan tingkah-laku seseorang.
3.Peraturan (sistem) yang menyangkut hubungan dengan orang lain, seperti masalah bisnis, pendidikan, sosial, pemerintahan, politik, sanksi hukum dan lain-lain.

*Definisi Politik*

Politik dalam bahasa arab adalah Siyasah (سياسة). Kata siyasah adalah kata benda bentukan dari kata kerja ساس - يسوس yang berarti mengurus, mengelola, atau memerintah. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

“Dulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, datang nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang ada adalah para khalifah yang banyak”. (HR. Muslim)


Jadi, politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan umat. Oleh karena itu, An Nabhani kemudian mendefinisikan politik politik sebagai sebagai pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut.


Lantas apa yang dimaksud dengan Siyasah Syar’iyyah? Istilah السياسة الشرعية kadang kala disebut juga السياسة العادلة adalah kata sifat yang dilekatkan pada kata siyasah untuk membatasi makna syar’i dari siyasah dalam Islam. Ibnu Khaldun misalnya menggunakan istilah siyasah diiniyah, dan menjelaskan maknanya bersama dengan siyasah Aqliyah. Beliau berkata:

 إذا كانت هذه القوانين مفروضة من العقلاء وأكابر الدولة وبصرائها كانت سياسة عقلية، وإن كانت مفروضة من الله بشارع يقررها ويشرعها كانت سياسة دينية

“Jika aturan-aturan ini ditetapkan berdasarkan aqal atau petinggi negara, atau para ahli, maka yang demikian adalah siyasah aqliyah. Sedangkan jika aturan/undang-undak ditetapkan berdasarkan apa yang disyari’atkan oleh Allah maka yang demikian adalah siyasah diniyah (syar’iyyah).”
Sehingga, secara sederhana bisa kita katakan, siyasah syar’iyah adalah politik yang sesuai dengan ketentuan syari’at islam. 




Prinsip Politik Islam

Sebagaimana didefinisikan sebelumnya, politik adalah pengaturan urusan ummat. Sedangkan politik islam atau politik yang syar’i adalah pelaksanaan pengurusan ummat sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Dari definisi tersebut ada beberapa catatan yang harus kita pahami, yaitu:

1. Aqidah Islam menjadi asas dalam pelaksaan politik Islam. Maksudnya adalah, aktifitas politik yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dengan demikian, dalam politik islam, seseorang politisi haruslah senantiasa menyadari bahwa tugasnya hanyalah menjalan apa yang Allah perintahkan kepadanya bukan sebagai ladang meraih kesenangan dunia semata. Selain itu, seorang politisi islam wajib menyadari bahwa apa yang dilakukan di dunia ini pasti akan diminta pertanggung jawabannya di akhirat nanti.

2. Al Quran dan Hadits sebagai acuan politik Islam, bukan akal manusia. Ini berarti semua masalah harus dikembalikan kepada hukum Allah SWT. Dalam hal ini, hukum syara’ adalah kedaulatan tertinggi dalam politik Islam. Oleh karena itu, bagaimana sistem pemerintahan, bentuk negara, UUD, syarat dan tata cara pengangkatan pemimpin/penguasa, hubungan luar negeri, politik ekonomi, dan segala bentuk pengaturan dalam politik Islam wajib terikat dengan hukum syara’. Adapun politik yang mendahulukan akal manusia, maka ia bukanlah politik Islam melainkan -menurut istilah Ibnu Khaldun- politik aqliyah. Termasuk dalam kategori yang demikian adalah demokrasi, monarki, kerajaan, dsb.

3. Keta’atan pada penguasa adalah wajib, selama sesuai dengan ketentuan hukum syara’, sehingga bukan keta’atan mutlak. Sebagaimana disampaikan pada edisi pertama, politik secara praktis dilaksanakan oleh penguasa, sedangkan rakyat melakukan koreksi terhadap penguasa. Dalam politik islam, rakyat diwajibkan untuk mentaati penguasa/pemimpin selama pemimpin itu menjalankan hukum syara’, sebagaimana firman Allh SWT:

Wahai orang-orang yang beriman, ta’atlah kalian kepada Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang menjadi pemimpin di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59).

Rasulullah SAW juga menegaskan, “Tidak ada (kewajiban) ta’at dalam melakukan kemaksiatan kepada Yang Maha Pencipta (Allah).” (HR. Ahmad).

Beliau juga bersabda, “Mendengarkan dan menta’ati adalah kewajiban orang Islam, baik dalam masalah yang disukai ataupun tidak, selagi tidak diperintahkan untuk melakukan maksiat. Jika diperintahkan untuk melakukan maksiat, maka ada tidak kewajiban untuk mendengarkan (perintah) dan menta’atinya.” (HR. Bukhâri).

Meski para ulama berbeda pendapat dalam memaknai ulil amri apakah berarti umara’ atau ulama’ (Lihat tafsir Tabariy atas ayat ini), namun semuanya sepakat bahwa hukum keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, sedangkan hukum keta’atan kepada ulil amri tergantung pada keta’atannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, apabila penguasa tersebut telah memerintah pada kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban bagi rakyat untuk mentaatinya.



💠 FIQH SIYÂSAH  💠

Dalam pemerintahan Islam, orang yang menjalankan hukum Islam dan memperhatikan Aqidahnya secara praktis ada dua orang : Pertama, Qadli (Hakim) yang menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia dan dia menetapkan hukum secara ketat. Kedua, Penguasa yang memimpin ummat, baik penguasa itu digelari dengan Amirul Mukminin, Imam maupun Sultan.

Adapun Qadli bentuknya tetap dan tidak berubah, yaitu bahwa seluruh Qadli yang memegang peradilan, sejak masa Rasulullaah saw hingga pemerintahan Islam habis pada masa Daulah Utsmaniyyah, mereka selalu menyelesaikan permasalahan yang ada di depan mereka sesuai dengan hukum Islam, baik dalam urusan perdata, pidana, perkawinan, ataupun pewarisan yang dikenal dengan Al Ahwal As Syakhsiyyah(hukum keluarga), maupun dalam urusan mu'amalah mahkamah peradilannya satu, dan menyelesaikan segala macam urusan dengan syari'at. Tidak pernah diriwayatkan bahwa mahkamah peradilan di sepanjang pemerintahan Islam itu menjalankan hukum selain hukum Islam. Bukti terdekatnya adalah tulisan tulisan dan catatan khusus tentang mahkamah-mahkamah itu dan adanya beberapa mahkamah yang sekarang di ketahui pernah ada di Irak, Mesir, Syam, Al Quds, dan Istanbul. Mahkamah-mahkamah semacam itu masih tetap ada hingga akhirnya menjadi tata hujum dan perundang-undangan. Sejak itulah permasalahan dan perselisihan yang dihadapkan pada hakim diputuskan dengan hukum-hukum selain hukum Islam. Hal itu terjadi pada tahun 1918 M, ketika Daulah Islamiyah terakhir jatuh ke tangan orang kafir penjajah. Namun hingga tahun 1857 M, ketika perundang-undangan modern masuk negeri Islam, seperti undang-undang upeti, niaga, dan hak azasi, tidak pernah dilaksanakan kecuali setelah mendapatkan persetujuan dari Syaikhul Islam -ulama setingkat mufti negara- dan mengeluarkan fatwa yang membolehkan penerapan undang-undang itu karena dianggap tidak bertentangan dengan hukum Syari'at. Bahkan pada saat itu, justeru para Ulama lain tetap berpendapat bahwa undang-undang modern tidak boleh dimasukkan ke dalam negara Islam. Maka dari itu disusunlah buku* sebagai bahan perundang-undangan dalam bidang muamalah yang bersandar kepada hukum-hukum syari'at sesuai dengan pemahaman pengarangnya. Semua itu dengan jelas menunjukkan bahwa semua mahkamah peradilan dan para qadlinya menyelesaikan permasalahan hukum di tengah masyarakat dengan hukum Islam. Dan negara negara muslim -meski saat itu mulai masuk tentara tentara penjajah- mereka dengan kewibawaannya tetap menerapkan peradilannya berdasarkan hukum-hukum Islam.

Adapun penguasa telah menerapkan undang-undang Islam ini dalam lima aspek : kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, serta aspek kekuasaan. Dari sisi kemasyarakatan adalah memperhatikan hubungan antara laki laki dan perempuan, perkawinan, talak, nafkah dan seluruh permasalahan yang terkait dengannya. Sampai sekarang, perundang-undangan ini masih tetap ada di seluruh negeri Islam, walaupun sebagian hakim telah mengubah bagian-bagiannya dan walaupun para penguasa telah jauh meninggalkan Islam, sehingga tidak menerapkan hukum-hukum Islam di seluruh aspek kehidupan.

Sedangkan dalam aspek ekonomi, tampak pada dua hal :

Pertama, bagaimana pemerintah Islam mengambil dan memperoleh pemasukan.

Kedua, bagaimana pembelanjaan harta tersebut.

Mengenai cara perolehan harta dan pengambilan pemasukan negara, Daulah Islamiyah mengambil zakat dari tanah, barang dagangan, tanaman, dan harta. Hal itu untuk dibagikan hanya kepada delapan ashnaf, yakni fakir, miskin, Ibn Sabil, orang yang berjihad fi sabilillah, orang yang punya hutang, bagi budak, dan muallaf serta amil(petugas) pemungut pajak negara. Disamping itu pemerintah mengambil pajak terhadap kafir dzimmi yang berada dalam wilayah Islam. Negara juga mengatur apa yang menjadi milik Negara dan milik umum, seperti minyak, barang tambang lain dan mata air yang dikelola oleh negara untuk pemasukan Baitul Mal dan kemaslahatan masyarakat umum. Harta itu dibelanjakan sesuai hukum Syara'. Diantara nya untuk memenuhi hajat pokok masyarakat secara maksimal, mencegah adanya ketimpangan ekonomi, dan menumbuhkan produktivitas ekonomi di tengah-tengah masyarakat. (bersambung)

*Buku itu berjudul Majallah Al Ahkâm Al Adliyyah, yang dijelaskan oleh Rustam Baz dalam dua jilid. Ada penjelasan lain dengan nama 'Durar Al Ahkâm, dalam empat jilid karya Ali Haidar.

-------

Marja' : Al Islâm bayna Al 'Ulama wa Al Hukkâm, Abdul Aziz Al Badri.


Wallahu a’lam bish-shawab.

Maraji’:
Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual.

Muhammad Syakir Syarif, http://www.saaid.net/Doat/alsharef/6.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...