SOAL JAWAB 7
1. Begini. ada yg tanya perihal :
seorg akhwat itu nifas di bulab ramadhan, jadi
selama 30 hr full tdk puasa. nah utk menggantinya harus dgn puasa lagi, atau
fidyah..atau boleh puasa dan fidyah?
2. Saya pernah mendengar penjelasan jika kita
tertinggal wkr shalat sedangkan saat itu 'diduga' darah haidh tlah berhenti
(selesai) tapi si wanita baru mengetahui setelah wkt shalat berikutnya.maka 1x
wkt shalat yg tertinggal tersebut harus diqadha. Apakah benar demikian?
Jika benar maka saat hari2 terakhir haidh
(ssuai kebiasaan) maka tiap masuj waktu shalat kami harus mengganti/mengecek
drah haidh?
Sedangkan sy pernah mendengar bhw waktu
menunggu haidh sudah berhenti atau belum adl sehari.
Mohon penjelasannya🙏🏻
----
Jawab :
Darah Nifas adalah darah yang keluar pasca
proses melahirkan. Baik yang dilahirkan dalam keadaan hidup, atau kondisi
wafat. Lama Nifas biasanya paling sedikit ialah lahdzoh(sesaat saja), dan yang
paling lama ialah 60 hari. Namun, umumnya nifas selama 40 hari. Dan inilah yang
diambil oleh jumhur ulama sebagai waktu paling lama bagi nifas. Dalil mereka
ialah :
"كانت النفساء على عهد رسول الله تقعد بعد نفاسها أربعين يوما"
"Dahulu para perempuan yang bernifas pada
zaman Rasulullâh shallallaahu alayhi wasallam
tetap berada dalam keadaan nifas selama 40 hari" (HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi. Dishahihkan okeh Al Hakim) (Kifâyatul Akhyâr, Kitâb at-Thoharoh,
hal. 79)
Bagi
perempuan yang nifas di bulan Ramadlan, dan selama 30 hari penuh ia tidak
berpuasa, maka wajib baginya mengqadla shaumnya sebanyak hari yang ia
tinggalkan. Berdasarkan dalil -yang pernah kami sampaikan di soal jawab 4- ,
Ibunda Aisyah r.ha berkata :
كنا نؤمر بقضاء الصوم و لا نؤمر بقضاء الصلاة
"Kami dahulu diperintahkan untuk
mengqadla shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadla sholat" (HR.
Muslim)
Adapun fidyah, hal itu merupakan rukhshah bagi
mereka yang memang berat dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengqadla shaum di
hari hari selanjutnya. Berdasarkan ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa
hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin” (QS.
Al-Baqarah[2] : 184)
Namun para Ulama memasukkan kedalam kategori
ini, ibu hamil dan menyusui -selain orang orang yang tua renta atau sakit
keras- yang dapat membayar fidyah dengan memberi makan satu orang
miskin(sebanyak jumlah hari yang batal shaum). Namun, ketentuan ibu hamil dan
menyusui dapat fidyah dan tidak mesti qadla ini, jika ia dalam keadaan khawatir dengan kondisi
si janin bayi. Dalam hal ini, dilihat dari sisi keselamatan si janin. Dan akan
tiba penjelasannya.
Adapun pertanyaan kedua, maka hendaknya
seorang perempuan menentukan ia telah suci atau masih dalam keadaan haidl
adalah dengan keyakinan, tidak berdasarkan dzan(dugaan). Maka dari itu, setelah
selesai darah haidl berhenti, pastikanlah akan habis tidaknya darah dari
farji(kemaluan). Imam Nawawi menuturkan :
علامة انقطاع الحيض ووجود الطهر : أن ينقطع خروج الدم وخروج الصفرة والكدرة , فإذا انقطع طهرت سواء خرجت بعده رطوبة بيضاء أم لا
"Ciri telah berhentinya darah haidl dan
adanya kesucian ialah : dengan berhentinya dan mengering dari keluarnya darah,
serta keluarnya flek kekuningan dan kecoklatan. Dan jika telah berhenti(terjadi
demikian) maka ia telah suci baik itu adanya cairah putih yang keluar ataupun
tidak" (Al Majmû Syarh Al Muhadzdzab, 2/562)
Maka untuk memastikan apakah sudah
muncul safrah dan kidrah dapat dilakukan dengan meletakkan kapas atau kain
di farji(kemaluan) setelah berhenti darah haidl.(Al Mughni, hal. 400-415).
Disinilah terjadi khilaf di kalangan ahli
ilmu. Sebagian berpendapat bahwa dalam menunggu waktu munculnya darah putih,
waktu itu dianggap sebagai suci. Sehingga wajib atasnya untuk langsung
menunaikan sholat. Dan sebagiannya lagi menganggap bahwa masa itu adalah masa
dimana ditunggu sampai satu hari, berdasarkan hadits dari ibunda 'Aisyah
manakala ia ditanya segerombolan wanita yang membawa kapas dengan flek
kekuningan dari bekas haidl : "janganlah kalian terburu-buru hingga muncul
cairan kental putih" (HR. Bukhari)
Ini adalah pendapat jumhur, bahwasanya waktu
menunggu sampai suci adalah sehari/setengah hari. Dan tidak ada kewajiban qadla
sholat pada saat itu(masih terkategori sebagai haidl). Dan jika memang telah
yakin ia telah bersih, maka saat yakin itulah dihitung sholat mulai dijalankan.
Jika ia menemukan bahwa ia suci pada saat ashar, maka ia sholat ashar dan
mengqadla sholat dzuhur. Jika ia suci pada saat masuk sholat Isya, maka ia
sholat Isya dan mengqadla sholat maghrib. Itulah pendapat jumhur ulama,
menentukan waktu bahwa sholat dzuhur-ashar dan maghrib-isya dengan satu waktu
(Ibn Qudamah, Al Mughni, 1/238). In Sya Allaah akan kami jelaskan dengan lebih
terperinci di pembahasan seputar haidl. Wallaahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar