🌸🍂 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH #108 💎🌿
Soal :
Ust.. Bisa penjelasan soal Qurban?
Jawab :
AlQur'an menggunakan banyak istilah di dalam menyebut Qurban.
🍂 1. Dhohha (ضحى)
Dikatakan: dhahhaa bi Syaatin minal Udh-hiyah artinya dia berkurban dengan ‘Kambing Qurban.’
Ada pun Hewan Qurban-nya sendiri lebih dikenal dengan istilah Al Udh-hiyah, jamaknya Al Adhaahiy. Oleh karena itu hari penyembelihannya disebut ‘Idul Adha (Hari Raya Qurban). Sementara, pengorbanan adalah tadh-hiyah.
🍂 2. An-Nahr(النحر)
Aktifitas menyembelih Hewan Qurban juga disebut nahr (diambil dari kata nahara – yanhuru –nahran). Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Oleh karena itu, hari raya kurban juga dikenal dengan Yaumun Nahri.
🍂 3. An-Nusuk(النسك)
Aktifitas menyembelih Hewan Qurban juga disebut nusuk (diambil dari kata nasaka – yansuku – nusukan).
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
“ …jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. “ (QS. Al Baqarah (2): 196)
🍂 4. Adz-Dzabh(الذبح)
Dalam Al Quran juga, aktifitas menyembelih disebut dzab-ha (diambil dari kata dzabaha – yadzbahu – dzabhan).
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. ….." (QS. Al Baqarah (2): 67)
🍂 5. Al Hadyu (الهدي)
Dalam Al Quran aktifitas berqurban, khususnya bagi jamaah haji, disebut juga Al Hadyu.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban (Al Hadyu) yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. (QS. Al Baqarah (2): 196)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah, dan inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” [HR. Ibn Majah No. 3123; Hakim No. 7565; Ahmad No. 8273]
Mengomentari hadits ini, Imam Ash Shan’ani berkata :
وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ و َاجِبًا كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } وَلِحَدِيثِ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ، وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ
“Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, hal ini jelas ketika Rasulullah melarang mendekati tempat shalat, larangan itu menunjukkan bahwa hal itu merupakan meninggalkan kewajiban,seakan Beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firmanNya: “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah) berbunyi: “ (wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berkurban.” Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah.[Subulussalam, 6/308 ]
Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam), hadits kedua dha’if. Sedangkan ayat Fashalli li Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Berikut keterangannya :
وَقِيلَ لَا تَجِبُ وَالْحَدِيثُ الْأَوَّلُ مَوْقُوفٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ وَالثَّانِي ضَعْفٌ بِأَبِي رَمْلَةَ قَالَ الْخَطَّابِيُّ : إنَّهُ مَجْهُولٌ وَالْآيَةُ مُحْتَمِلَةٌ فَقَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ ( { وَانْحَرْ } ) بِوَضْعِ الْكَفِّ عَلَى النَّحْرِ فِي الصَّلَاةِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ شَاهِينَ فِي سُنَنِهِ وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَفِيهِ رِوَايَاتٌ عَنْ الصَّحَابَةِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلَوْ سُلِّمَ فَهِيَ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ النَّحْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ تَعْيِينٌ لِوَقْتِهِ لَا لِوُجُوبِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ إذَا نَحَرْت فَبَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ فَإِنَّهُ قَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَنَسٍ { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْحَرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَأُمِرَ أَنْ يُصَلِّيَ ثُمَّ يَنْحَرُ } وَلِضَعْفِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بَلْ قَالَ ابْنُ حَزْمٍ لَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ .
“Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Hadits kedua (dari Mikhnaf bin Sulaim) dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Berkata Imam Al Khathabi: “Dia itu majhul (tidak dikenal).” Sedangkan firmanNya: “…berkurbanlah.” adalah tentang penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya, Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas dan didalamnya terdapat beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini, yang menunjukkan bahwa menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (‘Ied). Maka ayat itu secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan menunjukkan kewajibannya. Seolah berfirman: Jika engkau menyembelih maka (lakukan) setelah shalat ‘Ied. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Anas: “Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam pernah menyembelih sebelum shalat Id, lalu Beliau diperintahkan untuk shalat dulu baru kemudian menyembelih.” Maka nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan, madzhab jumhur (mayoritas) dari sahabat, tabi’in, dan ahli fiqih, bahwa menyembelih qurban adalah sunah mu’akkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih satu pun dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.” [Aa-Shan'ani, Subulussalam, 6/308]
Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berkurban maka janganlah dia menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan kulitnya.” [HR. Muslim No. 1977]
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berkurban itu terkait dengan kehendak manusianya. Oleh karena itu Imam Asy Syafi’i menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berkurban alias sunah. [An-Nawawi; Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/472]. Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar