Salah satu pertanyaan
yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode)
untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah
dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme
pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari
kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur
Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)
Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat
seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan
untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan
Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu
dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan
Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum
muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu
ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang
Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.
Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah
telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari
perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim
kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat
atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat
untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai
penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas
kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada
Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala
negara.
Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan
hadits. Allah Swt telah berfirman :
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ
بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ
أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ
وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ
Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan
janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah;
tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak
akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan
tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)
إِنَّ الَّذِينَ
يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)
Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan
kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata
: “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari
Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :
بَايَعْنَا رَسُولَ
اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي
الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ
نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ
لاَئِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw
untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami
senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut
kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau
mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada
celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin
al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :
وَمَنْ بَايَعَ
إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat
seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya,
maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang
lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR.
Muslim)
Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri
yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :
إِذَا بُوْيِعَ
لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka
bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang
berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku
mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا
فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ
حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan
dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh
nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah,
dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan
kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama,
berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta
pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan
memeliharanya (HR. Muslim)
Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas
menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh
sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat
Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.
Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah
Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di
baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang
terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara
langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–.
Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu
termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’.
Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi
sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang
melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam
pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim
telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad,
Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah
tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya
diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu
adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke
Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah
adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum
muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut,
dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan
negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim
meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim
sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu
Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui
pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni
mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah
setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar
sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim
datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan
baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah
yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena
seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah
tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami
sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan
menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.
Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk
menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau
menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum
muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk
memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari
mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi
mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela
dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang
menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh
ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy,
oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama
lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih
tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.
Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon
berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang
bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin
oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf
berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat
mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan
kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka
jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman
mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara
kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik
laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat.
Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan
riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman
mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku
terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau
habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika
orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada
Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan
dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di
Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim
itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh
‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada
masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri
masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa
al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka
yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka
adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang
dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu
dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim
menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya
dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat
dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Inilah
yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin
–radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat
dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan
Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama
jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam
orang sebagai jumlah paling banyak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar