Ustad.. Bagaimana hukumnya leasing dalam Islam?
Jawab :
Transaksi leasing adalah salah satu satu teransaksi yang
dilarang dalam Islam. Sebab istilah leasing yang sudah tak asing lagi di
telinga pelaku bisnis. Istilah leasing berasal dari kata lease yang berarti
sewa-menyewa. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
leasing diistilahkan “sewa guna usaha”. (wikipedia.or.id)
Dalam Kepmenkeu No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa
Guna Usaha (Leasing) disebutkan bahwa sewa guna usaha adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal (misal mobil atau mesin pabrik)
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Leasing ada
dua macam; Pertama, leasing dengan hak opsi (finance lease), yaitu hak lessee
(pihak penerima sewa guna usaha) untuk membeli barang modal yang disewa guna
usaha atau memperpanjang waktu perjanjian sewa guna usaha. Leasing inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah “leasing” saja. Kedua, leasing tanpa hak opsi
(operating lease) atau sewa menyewa biasa. Yang pertamalah yang disebut leasing
dalam istilah masyarakat sekarang. Lembaga keuangan yang satu ini biasanya
dijadikan sumber pembiayaan untuk pengadaan aset atau barang modal dalam
menjalankan bisnis.
Secara umum nasabah perusahaan leasing tidak dapat memiliki
barang (asset) yang sebelumnya disewa. Biasanya nasabah(lessee) mempunyai
pilihan untuk melanjutkan penyewaan dan membayar sewa dengan nilai minimal.
Pada akhir waktu penyewaan, barang akan dijual kepada pihak ketiga dan lessee
menerima share dari penjualan (jika penyewaan tidak dilanjutkan). Pilihan
lainnya, perusahaan leasing mengharapkan untuk menjual barang/asset di pasar
second-hand atau menyewakannya kembali, sehingga tidak perlu menutupi nilai
total asset dari pembayaran sewa, namun nasabah tidak memiliki share dari
penjualan tersebut. Tapi tetap saja lessee tidak dapat memiliki aset.
Kepemilikan lessee terhadap asset hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan
oleh lessee.
Leasing ini (finance lease) hukumnya haram, karena adanya
penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan jual beli, menjadi satu akad
(akad leasing). Padahal syara’ telah melarang penggabungan lebih dari satu akad
dalam satu akad.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِيْ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli
dalam satu jual beli [HR.Ahmad dalam al-Musnad no. 3783]
Hal ini juga disampaikan salah seorang shahabat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu :
الصَّفْقَتَانِ فِي الصَّفْقَةِ رِبَا
Dua kesepakatan dalam satu kesepakatan adalah riba [HR.
Abdurrazaq bin Hammam as-Shan’âni dalam al-Mushannaf , 14636]
Didalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
نَهَى رَسُـْولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِيْ بَيْعَةٍ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk
transaksi dalam satu akad. [HR. an-Nasai no. 4632, Tirmidzi no. 1231 dan Ahmad
no. 6628]
Dengan demikian, jelaslah bahwa hukum leasing adalah haram.
Apabila seseorang melakukan usaha tersebut dengan meyakini
bisnis itu boleh dijalankan karena tidak tahu bisnis itu terlarang, maka hasil
bisnis yang sudah ditangannya menjadi milik pelaku , berdasarkan firman Allâh
Azza wa Jalla :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا
يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri
melainkan seperti seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang didemikian itu karena mereka
berkata, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, Padahal Allâh telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu dia berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allâh. [QS. Al-Baqarah/2: 275].
Sehingga orang yang tidak mengetahui adanya larangan itu
tidak berdosa dan mendapatkan semua yang telah dimilikinya.
Syaikh Abdurahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allâh Azza
wa Jalla tidak memerintahkan mengembalikan yang sudah diterima dengan akad riba
setelah taubat. Hanya memerintahkah mengembalikan riba yang belum diterima dan
hal itu diterima dengan keridhaan pemiliknya sehingga tidak serupa dengan
barang rampasan. Juga karena berisi kemudahan dan motivasi untuk bertaubat yang
tidak ada dalam pendapat taubatnya tergantung kepada pengembalian semua yang
telah dilakukan walaupun banyak dan susah”. [al-Fatawa as-Sa’diyah hlm 303].
Masuk dalam kategori ini semua yang diyakini halalnya
berdasarkan ijtihad atau taqlid seperti sebagian muamalat yang masih diperselisihkan
para Ulama antara kebolehan dan larangannya. [Lihat Majmû’ al-Fâtâwâ
29/412-413, al-Ikhtiyârât al-Fiqhiyah hlm 167]. Wallaahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar