Jumat, 30 Juni 2017

Shaum Syawwal


Soal Jawab #19
Soal :
...
Assalammu'alaikum, ustadz mau nanya tentang shaum 6hari dibulan syawwal. Apakah shaumnya itu dilakukan pada tanggal ke 2 atau tgl. 3 syawwal? Dan apakah shaum syawwalnya itu boleh dipertengahan atau boleh juga di selang hari seperti shaumnya nabi daud?
Mohon jawabannya...
Jazakallaah khoiron katsiir

Jawab :
Saya paparkan jawaban terkait ini, dari soal jawab dengan Syaikh Ali Jum'ah (Ulama Mesir). Berikut tanya jawabnya.
Pertanyaan:

Apa hukum puasa enam hari pada bulan syawal? Apa pahalanya? Apakah harus enam hari secara beruntun?
Jawaban Maulana Syaikh Ali Jum’ah:
• Hukum puasa enam hari pada bulan Syawal ini adalah sunah menurut mayoritas ulama.

Telah diriwayatkan dari Abu Ayub al-Anshari Ra. Bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:

من صام رمضان ثم أتْبَعَه ستا من شوال كان كصيام الدهر
Barang siapa yang puasa Ramadan dan melanjutkannya dengan puasa enam hari pada bulan Syawal maka ia seolah-olah berpuasa setahun penuh. (HR. Muslim).
• Keutamaan puasa Syawal:
Orang yang puasa Ramadan dan dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal seakan-akan berpuasa satu tahun, karena -secara umum- puasa 30 hari Ramadan ditambah dengan 6 hari Syawal, dikali 10 (karena setiap satu kebaikan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat) sama dengan 360, dan ini adalah jumlah hari dalam satu tahun Hijriah.
Ini menunjukkan pada tiga hal:

1. Puasa Syawal dapat menutupi kekurangan dalam menjalani puasa Ramadan.
Para ulama memperhatikan bahwa puasa sunah Syawal bagi puasa wajib Ramadan bagaikan salat sunah badiyah (yang dilakukan setelah salat wajib). Begitu juga puasa sunah bulan Syaban sebelum puasa wajib Ramadan seperti halnya salat sunah qabliyah (yang dilakukan sebelum salat wajib). Ini semua berguna untuk menyempurnakan segala kekurangan dalam melaksanakan ibadah yang wajib.
2. Puasa Syawal adalah tanda diterimanya puasa Ramadan.
Hal ini karena ibadah yang diterima adalah ibadah yang melahirkan ibadah selanjutnya. Insya Allah puasa Syawal adalah ketaatan yang dilahirkan oleh ketaatan puasa Ramadan. Semoga ini tanda diterimanya Ramadan.
3. Puasa Syawal adalah tanda bahwa seorang yang telah puasa Ramadan tidaklah pernah lelah atau bosan puasa.
• Puasa enam hari bulan Syawal tidak harus enam hari secara beruntun, namun waktunya terbuka selama bulan Syawal. Maka kita boleh puasa Syawal sekaligus puasa sunah lainnya, seperti puasa senin dan kamis atau puasa ayyām bīdh, yaitu puasa tanggal 13, 14 dan 15. Namun lebih baiknya puasa secara langsung dan berurutan (dari tanggal 2 hingga 7 Syawal).
Mari kita segera puasa Syawal setelah selesainya hari raya Idul Fitri.
(Al-Fatāwā al-Ramadhāniyah, hal: 78-79)
Grup Telegram Ngaji FIQH
Sebar Ilmu, Raup Pahala besar..

Perjanjian Pra Nikah


💎🌿 Soal Jawab #18 ❄️🌸

Soal :

Assalamu'alaikum.. ustadz.. mau tanya apa dlm islam diblhkan mengadakan perjanjian pra nikah? Kl blh spt apa batasan2 yg diblhkannya? Syukron

Jawab :

Wa'alaykumussalaam.wr.wb.
Melakukan perjanjian pra nikah, dengan bentuk pengajuan syarat-syarat dari si calon istri merupakan perkara yang boleh. Begitu juga boleh, jika pengajuan syarat itu datang dari pihak laki laki, meski ini tidak ghalib. Sebab, yang melamar adalah pihak laki laki, dan penerimaan/penolakan datang dari pihak perempuan. Semua ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alayhi wasallam :

أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

“Syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah apa menyebabkan kemaluannya menjadi halal bagi kalian (syarat dalam pernikahan).” [HR. Bukhari No. 2721, Muslim No. 1418]

Begitu pun Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah berkata,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ، إِلا شَرْطًا حَرَّمَ حَلالا ، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Ummat Islam itu selalu berpedoman pada syaratnya, kecuali syarat yang mengharamkan halal atau menghalalkan haram.” [HR. Tirmidzi, No. 1352, Abu Daud No. 3594]

Dari sini lah dapat dipahami bahwa mengajukan syarat sebelum nikah merupakan hal yang boleh dilakukan, dan perjanjian pra nikah tercakup ke dalam keumuman bolehnya membuat perjanjian(sebagaimana perjanjian perjanjian antar dua orang yang berjanji pada umumnya).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

إذا اشترط لها أن لا يخرجها من دارها أو بلدها أو لا يسافر بها أو لا يتزوج عليها فهذا يلزمه الوفاء به ، فإن لم يفعل فلها فسخ النكاح

"Jika perempuan mensyaratkan agar tidak dikeluarkan dari rumahnya atau negaranya; atau agar ia tidak dibawa pergi kemana mana, atau agar suaminya tidak menikah lagi, maka hal ini (termasuk syarat) yang harus dipenuhi. Jika tidak memenuhinya, dia (sang perempuan) dapat menfasakh (membatalkan) pernikahannya." [Al Mughni, 9/483]

Ini lah yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, Sa'ad bin Abi Waqqas, Muawiyah, Amr bin Ash radhiyallahu ’anhum. Ini termasuk pendapat Syuraikh, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thowus, Al-Auza’i, dan Ishaq.

Akan tetapi, jika syaratnya tersebut mengharamkan apa yang Allaah halalkan serta menghalalkan apa yang Allaah haramkan; maka jika berpedoman pada hadits di atas yang telah kami sebutkan, hal ini tidak boleh.

Diantara syarat yang dilarang tersebut adalah, jika sang calon perempuan mensyaratkan agar sang laki laki -seumpama ia sudah beristri- menceraikan istrinya yang pertama.

Hal ini terlarang, dan syaratnya tidak sah. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata :

نهى رسول الله أن تشترط المرأة طلاق أختها

"Rasulullaah melarang seorang perempuan memberikan syarat, dengan syarat agar seseorang menceraikan saudarinya" [HR. Bukhari No. 2727]

Karena hal tersebut juga merupakan syarat yang dzalim, dan tidak sepantasnya diajukan. Maka, syarat syarat seperti ini tidak termasuk ke dalam syarat atau perjanjian pra nikah yang mubah. Permasalahan ini In Sya Allaah akan kita bahas lebih mendalam, di kesempatan yang lain. Wallaahul musta'an

HUKUM SHOLAT TASBIH ( :: Soal Jawab 17 :: )


@Soal :

Yaa Ustadz Abu Abdillah.. mau tanya apakah sholat tasbeh itu disunnahkan? Atau bgaimana?jazakallaah ustadz..

#Jawab :

Sebagian ‘ulama mengkategorikan sholat tasbih sebagai sholat tathawwu’(sunnah dan jika dikerjakan mendapat pahala). Dan sholat ini memiliki kaifiyah yang khusus.


Dalil yang digunakan kalangan yang mensunnahkan sholat tasbih ialah riwayat :

Bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam berkata kepada pamannya Al Abbas,
“Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya, Allah mengampuni dosamu; dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaatnya. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu” (HR. Abu Dawud 1/414, At-Tirmidzi 2/347, Ibn Majah 1/443)

Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur dari kalangan sahabat. Diantaranya ialah ‘Ibn ‘Abbas, Abu Rafi’, Abdullah Ibn Amr, Ibn Umar, dan lainnya. Diriwayatkan juga secara mursal oleh Ikrimah, Abul Jauza, Mujahid, dan Urwah. (Muhammad Buyumi, Sholat At-Tasaabih, Hal. 4)

Hadits ini juga dishahihkan oleh Ibn Sholah di dalam Fatawa-nya, serta Al Hafidz Al Mundziri di dalam At-Targhib. Hadits ini juga dinukil oleh Syaikhul Islam Ibn Hajar di dalam At-Talkhis Al Habir, 2/13.

Jadi, hadits mengenai sholat tasbih ini derajatnya adalah minimal hasan, meski beberapa ulama hadits mendlo’if kannya. Bahkan ada pula yang memasukkannya ke deretan hadits mawdhu'(palsu), diantaranya Ibnul Jawzy.

Adapun pandangan para fuqoha madzhab, masing masing memiliki pandangan tersendiri.

-Madzhab Hanafi, memandang bahwa sholat tasbih ini sunnah, dan hadits yang berbicara mengenai hal ini adalah hadits hasan. (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 2/27). Hampir sama dengan pandangan madzhab Maliki (Mawahibul Jalil, 1/381).

-Pandangan madzhab Syafi’I, sebagaimana ucapan Al Khatib As Syarbini di dalam Al-Mughni :

بقي من هذا القسم صلوات لم يذكرها منها صلاة التسبيح ...و هي سنة حسنة...

“Beberapa sholat lagi di pembahasan bab ini, yang belum disebutkan diantaranya sholat tasbih.. Dan sholat tasbih ini hukumnya sunnah hasanah.” (Mughni Al Muhtaaj, 1/485)

-Sedangkan madzhab Hanbali, memandang bahwa sholat tersebut tidak disunnahkan, namun apabila dikerjakan tidak berdosa bagi yang mengerjakan. Muwaffaqquddin Ibn Qudamah mengatakan :

إن فعلها إنسان فلا بأس فإن النوافل والفضاءل لا تشترط صحة الحديث فيها

“Jika ada seseorang yang menunaikannya(sholat tasbih), maka hal tersebut tidak berdosa. Karena sesungguhnya amalan nafilah serta fadha’il, tidak mensyaratkan keshahihan hadits di dalamnya” (Al Mughni, 1/438)

Kesimpulannya, sholat tasbih boleh dikerjakan. Dan kaifiyatnya sebagaimana yang termaktub di dalam hadits di atas. Untuk lebih lengkapnya dapat merujuk kitab Al Adzkaar, karya An-Nawawi. Wallaahu a’lam.**

Mengapa Kaum Komunis Tidak Gentar Menghadapi Maut?



Oleh: Buya HAMKA

Mengapa dengan gagahnya Sudisman dan Njoto (tokoh PKI, -pen) berdiri tegak mendengarkan MahMilLuB membacakan vonis hukuman mati bagi dirinya... Bahkan Njoto sempat melantunkan syair Tagore, "Daun-daun kering berguguran untuk menumbuhkan daun-daun muda yang segar", lalu dengan gagah berani dan mata tak berkedip dia menunggu keputusan hukuman mati... Di bibirnya tersungging senyum sinis...

Mengapa demikian berani orang2 itu menghadapi maut? Padahal pokok kepercayaan mereka adalah tidak mempercayai sama sekali adanya Tuhan dan hari kiamat...
JAWABNYA adalah... karena mereka mendalami pengertian terhadap cita2 IDEOLOGI... Mereka tidak mempercayai hal ghaib, padahal ideologi itu sendiri adalah ghaib (nisbi)...

Mengapa DIANTARA UMAT ISLAM di negeri kita ini masih jarang terlihat yang demikian?
Kalau kita katakan mengatakan bahwa umat Islam adalah satu kesatuan, mengapa jarang kita temukan pemimpin yang konsekuen dengan pendiriannya?
Malahan ada yang tidak malu2 BERKAWAN dengan komunis untuk menghantam sesama Islam... Mengapa banyak yang mengingkari janji dan "bai'at"nya dengan kawan seagama, hanya semata2 untuk kemenangan politik sementara?

SEBABNYA adalah karena belum banyak yang membenamkan dirinya kedalam cita2, sebagaimana orang2 komunis itu...
Islam telah kita terima sebagai agama, dan kita marah jika dikatakan tidak Islam... Tetapi Islam itu sendiri belum kita resapkan dalam jiwa... Kita belum merasakan lezatnya iman dan nikmatnya ideologi... Kita masih DIPERBUDAK oleh hawa nafsu dan materi...

Yang PERTAMA dan UTAMA alam menegakkan suatu ideologi bukanlah mesti bergelar "alim", bukan ahli fiqih dan bukan titel kesarjanaan. Semua itu hanya kulit luar... Tetapi yang pertama dan utama adalah "quwwatil khulqi" (KEKUATAN KARAKTER), yaitu kuatnya mental serta moral...

Dimana LETAK KESALAHAN kita?
Sebabnya ialah, selama ini kita hanya BERTENGKAR SOAL FURU', soal hukum bersentuhan kulit lelaki dengan perempuan, soal melafalkan niat, dst... Namun intisari agama itu sendiri tidak pernah dirasakan...
Selalu kita menyebut2 pendapat2 Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hambali, tetapi kurang sekali kita melihat kepada suka-duka pribadi mereka dalam menegakkan kebenaran...
Orang yg dapat menghapal qala ta'ala, qala Rasulullah, menurut Imam Syafi'i demikian, menurut Imam Hanafi begitu, belum tentu dapat mempertahankan agama kalau tidak memiliki kekuatan karakter... Orang yang demikian mudah saja disuruh membuat fatwa guna "menghalalkan" perbuatan yang haram dari seorang diktator...

Kepada yang diatas (penguasa), orang2 seperti itu selalu kalah dan mengalah, tetapi kepada kawan sendiri mereka sanggup memang berpolitik...
Adakah kita yang bersorak sorai mengaku membela mazhab yang empat berani meniru, meneladani keempat imam ini dalam hal KETEGUHAN PENDIRIAN?...
Tidak ada atau JARANG SEKALI... SEBAB dalam hal agama, selama ini kita bertengkar tentang "kulit", tetapi enggan "menelan isi"...
Oleh sebab itu maka jika seorang diktator berkuasa, orang yg seperti inilah yang disenangi...

Kamu ANGKATAN MUDA, jauhilah hal2 seperti itu. Inilah yang merugikan kita bertahun2 lamanya, sehingga cita2 Islam tidak bisa tegak, karena kita kekurangan manusia yang berkarakter...
Maka kalau orang komunis seperti Sudisman berdiri tegak dengan wajah tenang menghadapi hukuman mati... Kalau Njoto masih sempat bersyair ketika mendengarkan vonis... Padahal mereka hendak menghancurkan agamamu... MENGAPA kamu yang mempertahankan Tuhan dan menjaga agama merasa ragu menghadapi segala kemungkinan alam keyakinan?
(Disarikan dari tulisan Buya HAMKA dalam rubrik Dari Hati Ke Hati, Judul; "Benamkan Diri Kedalam Cita-cita" -dengan proses penyuntingan-)

Kamis, 29 Juni 2017

Kebangkitan Hakiki yang Dijanjikan


Layaknya kebahagiaan seorang musafir yang menemui oase di tengah gurun setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, seperti itulah kebahagiaan yang dirasakan mayoritas muslim ketika datang padanya hari raya Idul Fitri. Berbahagia karena telah selesai melaksanakan puasa sebulan penuh dengan penuh cobaan dan rintangan. Berbahagia karena liburnya kantor dan sekolah-sekolah, atau karena cairnya THR dan gaji bulanan, atau karena maraknya diskon di pusat-pusat perbelanjaan, dsb. Media cetak ataupun televisi juga akan dipenuhi untaian-untaian kalimat selamat atas datangnya hari raya Idul Fitri, sebagian berbunyi “raih kebangkitan hakiki di hari yang fitri” atau “sambut kemenangan di hari raya idul fitri”.

Memang kebahagiaan ini merupakan hal yang wajar, dan merupakan salah satu dari kebahagiaan yang Rasulullah saw janjikan kepada umatnya, dalam sabdanya yang artinya, “orang yang berpuasa diberi dua kebahagiaan : kebahagiaan saat berbuka (termasuk saat idul fitri) dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabb-nya karena puasanya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Namun selayaknya kita berpikir: apakah kaum muslim benar-benar telah meraih kebangkitan dan kebahagiaannya yang hakiki? Sudahkah kita raih tujuan utama puasa di bulan Ramadhan?

Allah swt telah menjelaskan kepada kita tujuan dan hikmah puasa yang harus kita raih, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:

﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS al-Baqarah [2]: 183).

La’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa). Itulah hikmah yang akan diraih oleh orang-orang yang berpuasa menurut ayat ini,  Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh dalam kitabnya, Zâd al-Muhâjir ilâ Rabihi, juga berkata“hakikat takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar iman dan mengharapkan ridha-Nya, baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang; lalu melakukan apa saja yang Allah SWT perintahkan karena mengimani perintah-Nya dan membenarkan janji-Nya, serta meninggalkan apa saja yang Allah larang karena mengimani larangan-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”

Inilah taqwa, dan inilah yang diharapkan akan terwujud setelah menjalankan ibadah puasa, maka sudahkah taqwa itu terpatri dalam diri kita? Sudahkah kita laksanakan segala perintah dan larangan-Nya? Sudahkah syari’at-Nya kita terapkan untuk mengatur segala urusan kita?

Kita lihat di Indonesia, bagaimana khamr tidak dilarang penggunaannya dan tidak dihukum peminumnya, bahkan dijual bebas di banyak tempat di kota-kota besar. Prostitusi yang kian merajalela, bahkan kesannya difasilitasi oleh pemerintah. Hukum-hukum islam yang dicampakkan dan diganti dengan hukum sekular buatan manusia, yang tentu saja menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan di tengah-tengah kehidupan umat islam, kemiskinan, kriminalitas, rusaknya moral anak bangsa, juga pelecehan agama islam yang akhir-akhir marak dilakukan, sungguh semua itu merupakan buah pahit dari dicampakkannya hukum-hukum islam dalam mengatur kehidupan. Padahal ketakwaan itu harus direalisasikan oleh individu, juga masyarakat yaitu dengan senantiasa terikat dengan hukum-hukum Allah SWT di dalam kehidupan. Caranya adalah dengan menjadikan halal dan haram atau Syariah Islam sebagai standar dalam kehidupan. Dengan kata lain, yang halal diambil dan dilaksanakan sedangkan yang haram dijauhi dan ditinggalkan.

Maka sungguh tidak ada jalan lain untuk meraih totalitas dalam ketakwaan juga kebangkitan umat ini, selain dengan penerapan islam secara kaffah yang dilindungi oleh konstitusi Khilafah. Allah SWT berfirman:

﴿ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾

“Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi”. (TQS al-A’raf [7]: 96).

Sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan penduduk negeri agar mereka beriman dan bertakwa dalam kehidupan bermasyarakat, di lain sisi Allah SWT juga menjanjikan kepada siapapun yang beriman dan bertakwa, di saat yang bersamaan kemakmuran dan kesejahteraan dalam penghidupan dunia, sebaliknya jika kita berpaling dari ketaatan kepada-Nya, yakni dengan mencampakkan syariat-Nya, maka sungguh baginya kesengsaraan dan penghidupan yang sempit sebagaimana yang umat saat ini rasakan, Allah SWT berfirman:

﴿ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى﴾

“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta”. (TQS. Thaha [20]: 124).

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323).

Oleh karenanya, metode yang ditempuh untuk meraih kemenangan dan kebangkitan hakiki adalah dengan menegakkan kekuasaan yang didasari dengan aqidah islamiyah, yaitu pemerintahan Islam, Khilafah Rosyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Inilah kekuasaan yang telah Allah SWT janjikan untuk meraih kebangkitan hakiki, kemerdekaan dari kemalangan, kerusakan, dan kesempitan hidup di dunia, juga kemerdekaan dari jilatan api neraka yang panas menyakitkan di akhirat kelak.

Allah SWT telah berjanji dalam firman-Nya:

﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”. (TQS. An-Nuur [24]: 55).

terkait firmaan Alloh SWT :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ﴾ ﴿
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”.

Term kalimat layastakhlifanna (sungguh akan menjadikan mereka berkuasa/memberikan kekuasaan kepada mereka) dan istakhlafa (telah memberi kekuasaan) adalah pangkal dari bentuk negara islam, yaitu khilafah. Karena dalam ilmu shorof kedua fi’il ini (layastakhlifanna dan istakhlafa) merupakan fi’il sudatsi mazid dari fi’il mujarrad “khalafa, yakhlufu, khilafah”, dimana dari kata ini terbentuknya kata “khilafah”.

Jadi Allah berjanji akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, dengan negara Khilafah dimana Khalifah sebagai kepala negaranya, bukan dengan bentuk negara dan kepala negara yang lain. Kesimpulan ini juga telah dijelaskan oleh Sunnah. Nabi SAW bersabda:
ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓُ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺛُﻢَّ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻓَﻌَﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ...  ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ﺛُﻢَّ ﺳَﻜَﺖَ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ
“Di tengah kalian sedang ada kenabian, yang dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya, ketika Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian, … … … Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian". Kemudian beliau diam". HR Ahmad Dari Hudzaifah bin al-Yaman RA.



Kedua, terkait firman Alloh SWT:

وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً
Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa”.

Dengan demikian juga, setelah tegaknya Khilafah, kita telah meraih dua kemerdekaan sekaligus: 
1)
Kemerdekaan dari penjajahan agama, yaitu pemurtadan yang dilakukan penjajah. Karena hukum-hukum yang diterapkan oleh negara Khilafah terhadap masyarakatnya, adalah hukum-hukum Islam, karena agama yang dimaksud adalah agama Islam. Sedang pengertian agama yang diteguhkan adalah agama yang hukum-hukumnya diterapkan secara sempurna dalam semua lini kehidupan, masyarakat dan negara.

2) Kemerdekaan dari rasa ketakutan akibat berlangsungnya berbagai jenis penjajahan, yaitu rasa takut akan kemalangan, kesengsaraan dan penderitaan hidup akibat kezaliman dan keserakahan penjajah, juga rasa takut yang mendalam akan azab Allah di akhirat kelak, akibat pengabaian terhadap hukum-hukum-Nya.

Lalu di puncak kebangkitan hakiki, kaum muslimin dapat beribadah kepada Allah Swt secara sempurna. Allah Swt berfirman :

يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً

Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun”.

Menyembah Allah SWT hakikatnya adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, baik itu yang berupa perbuatan seorang hamba dengan Rabbnya, seperti sholat, puasa, haji, atau yang berkaitan dengan dirinya sendiri, seperti akhlaq, makanan, dan minuman. Juga perbuatan yang mengatur hubungannya dengan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, seperti bergaul, berpendidikan, berekonomi, berpolitik, berhukum, semua harus berlandaskan Syariat Islam.

Tidak mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun, artinya tidak hanya menyekutukan-Nya dengan menyembah berhala, batu, pohon, kuburan, keris. Akan tetapi menyekutukan-Nya juga berarti mengambil hukum selain hukum-Nya, yaitu dengan mengambil hukum produk manusia yang sarat kepentingan dan kecacatan.

Ada satu ungkapan yang sangat baik yang disampaikan oleh salah satu imam besar, yaitu imam Malik, beliau adalah amirul mu’minin fil hadist, dalam syairnya beliau berkata:

وَلَا يُصْلِحُ آخرَ هذه الأمة إلا ما أصْلَحَ أَوَّلَهَا

“Dan tidaklah akhir dari umat ini menjadi baik kecuali dengan apa-apa yang bisa membuat awal umat ini menjadi baik”.

Kata mutiara yang disampaikan Imam Malik ini semakin menegaskan kita, bahwa hanya Islam lah satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat ini untuk mengembalikan kebangkitan, kejayaan, dan keagungannya. Sebagaimana Islam pula lah yang telah membangkitkan umat ini dahulu, mengangkat mereka dari hinanya kekufuran dan kejahilan menuju agungnya dengan Islam.

*Penulis adalah Ahmad TI. Santri Ma'had Al Mufasi Kairo - Mahasiswa Universitas Al Azhar Mesir.













Referensi:






 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...