Layaknya kebahagiaan seorang musafir yang menemui oase
di tengah gurun setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan,
seperti itulah kebahagiaan yang dirasakan mayoritas muslim ketika datang
padanya hari raya Idul Fitri. Berbahagia karena telah selesai melaksanakan
puasa sebulan penuh dengan penuh cobaan dan rintangan. Berbahagia karena
liburnya kantor dan sekolah-sekolah, atau karena cairnya THR dan gaji bulanan,
atau karena maraknya diskon di pusat-pusat perbelanjaan, dsb. Media cetak
ataupun televisi juga akan dipenuhi untaian-untaian kalimat selamat atas
datangnya hari raya Idul Fitri, sebagian berbunyi “raih kebangkitan hakiki di
hari yang fitri” atau “sambut kemenangan di hari raya idul fitri”.
Memang
kebahagiaan ini merupakan hal yang wajar, dan merupakan salah satu dari
kebahagiaan yang Rasulullah saw janjikan kepada umatnya, dalam sabdanya yang
artinya, “orang yang berpuasa diberi dua kebahagiaan : kebahagiaan saat berbuka
(termasuk saat idul fitri) dan kebahagiaan saat bertemu dengan Rabb-nya karena
puasanya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Namun
selayaknya kita berpikir: apakah kaum muslim benar-benar telah meraih
kebangkitan dan kebahagiaannya yang hakiki? Sudahkah kita raih tujuan utama
puasa di bulan Ramadhan?
Allah
swt telah menjelaskan kepada kita tujuan dan hikmah puasa yang harus kita raih,
sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa
itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS al-Baqarah [2]: 183).
La’allakum
tattaqûn (agar kalian bertakwa). Itulah hikmah yang akan
diraih oleh orang-orang yang berpuasa menurut ayat ini, Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh dalam kitabnya, Zâd al-Muhâjir ilâ Rabihi,
juga berkata, “hakikat
takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar iman dan mengharapkan
ridha-Nya, baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang;
lalu melakukan apa saja yang Allah SWT perintahkan karena mengimani
perintah-Nya dan membenarkan janji-Nya, serta meninggalkan apa saja yang Allah
larang karena mengimani larangan-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”
Inilah taqwa, dan inilah yang diharapkan akan terwujud
setelah menjalankan ibadah puasa, maka sudahkah taqwa itu terpatri dalam diri
kita? Sudahkah kita laksanakan segala perintah dan larangan-Nya? Sudahkah
syari’at-Nya kita terapkan untuk mengatur segala urusan kita?
Kita lihat di Indonesia, bagaimana khamr tidak dilarang
penggunaannya dan tidak dihukum peminumnya, bahkan dijual bebas di banyak
tempat di kota-kota besar. Prostitusi yang kian merajalela, bahkan kesannya
difasilitasi oleh pemerintah. Hukum-hukum islam yang dicampakkan dan diganti
dengan hukum sekular buatan manusia, yang tentu saja menyebabkan kerusakan dan
kesengsaraan di tengah-tengah kehidupan umat islam, kemiskinan, kriminalitas,
rusaknya moral anak bangsa, juga pelecehan agama islam yang akhir-akhir marak
dilakukan, sungguh semua itu merupakan buah pahit dari dicampakkannya
hukum-hukum islam dalam mengatur kehidupan. Padahal ketakwaan itu harus
direalisasikan oleh individu, juga masyarakat yaitu dengan senantiasa terikat
dengan hukum-hukum Allah SWT di dalam kehidupan. Caranya adalah dengan menjadikan
halal dan haram atau Syariah Islam sebagai standar dalam kehidupan. Dengan kata
lain, yang halal diambil dan dilaksanakan sedangkan yang haram dijauhi dan
ditinggalkan.
Maka sungguh tidak ada jalan lain untuk meraih totalitas
dalam ketakwaan juga kebangkitan umat ini, selain dengan penerapan islam secara
kaffah yang dilindungi oleh konstitusi Khilafah. Allah SWT berfirman:
﴿ وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا
وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ﴾
“Jika saja
penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka
pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi”. (TQS al-A’raf [7]: 96).
Sesungguhnya ayat tersebut memerintahkan penduduk negeri agar
mereka beriman dan bertakwa dalam kehidupan bermasyarakat, di lain sisi Allah
SWT juga menjanjikan kepada siapapun yang beriman dan bertakwa, di saat yang
bersamaan kemakmuran dan kesejahteraan dalam penghidupan dunia, sebaliknya jika
kita berpaling dari ketaatan kepada-Nya, yakni dengan mencampakkan syariat-Nya,
maka sungguh baginya kesengsaraan dan penghidupan yang sempit sebagaimana yang
umat saat ini rasakan, Allah SWT berfirman:
﴿ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ
مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى﴾
“Siapa saja
yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang
sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta”.
(TQS. Thaha [20]: 124).
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa
yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari
selainnya (Tafsir al-Quran al-‘Azhim, V/323).
Oleh karenanya, metode yang ditempuh untuk meraih kemenangan
dan kebangkitan hakiki adalah dengan menegakkan kekuasaan yang didasari dengan
aqidah islamiyah, yaitu pemerintahan Islam, Khilafah Rosyidah ‘ala minhajin
nubuwwah. Inilah kekuasaan yang telah Allah SWT janjikan untuk meraih
kebangkitan hakiki, kemerdekaan dari kemalangan, kerusakan, dan kesempitan
hidup di dunia, juga kemerdekaan dari jilatan api neraka yang panas menyakitkan
di akhirat kelak.
Allah SWT telah berjanji dalam firman-Nya:
﴿وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ﴾
“Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian,
bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia
benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan—
menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku
dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah
orang-orang yang fasik”. (TQS. An-Nuur
[24]: 55).
terkait firmaan Alloh SWT :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ﴾ ﴿
“Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia
benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”.
Term kalimat layastakhlifanna (sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa/memberikan kekuasaan kepada mereka) dan
istakhlafa (telah memberi kekuasaan) adalah pangkal dari bentuk negara islam,
yaitu khilafah. Karena dalam ilmu shorof kedua fi’il ini (layastakhlifanna dan
istakhlafa) merupakan fi’il sudatsi mazid dari fi’il mujarrad “khalafa,
yakhlufu, khilafah”, dimana dari kata ini terbentuknya kata “khilafah”.
Jadi Allah berjanji akan
menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, dengan negara Khilafah dimana Khalifah
sebagai kepala negaranya, bukan dengan bentuk negara dan kepala negara yang
lain. Kesimpulan ini juga telah dijelaskan oleh
Sunnah. Nabi SAW bersabda:
ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓُ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺛُﻢَّ ﻳَﺮْﻓَﻌُﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺷَﺎﺀَ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﻓَﻌَﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ
ﺧِﻠَﺎﻓَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ... ﺛُﻢَّ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺧِﻠَﺎﻓَﺔً ﻋَﻠَﻰ
ﻣِﻨْﻬَﺎﺝِ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ﺛُﻢَّ ﺳَﻜَﺖَ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ
“Di tengah kalian sedang ada kenabian, yang
dengan izin Allah ia akan tetap ada, kemudian Allah mengangkatnya, ketika Dia
berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti
tuntunan kenabian, … … … Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan
kenabian". Kemudian beliau diam". HR Ahmad Dari Hudzaifah bin
al-Yaman RA.
Kedua, terkait firman Alloh
SWT:
وَلَيُمَكِّنَنَّ
لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ
خَوْفِهِمْ أَمْناً
“Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan
mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa”.
Dengan demikian juga, setelah tegaknya Khilafah, kita telah meraih dua kemerdekaan sekaligus:
1) Kemerdekaan dari penjajahan agama, yaitu pemurtadan yang dilakukan penjajah. Karena hukum-hukum
yang diterapkan oleh negara Khilafah terhadap
masyarakatnya, adalah hukum-hukum
Islam, karena agama yang dimaksud adalah agama Islam. Sedang pengertian agama
yang diteguhkan adalah agama yang hukum-hukumnya diterapkan secara sempurna
dalam semua lini kehidupan, masyarakat dan negara.
2) Kemerdekaan dari rasa
ketakutan akibat berlangsungnya berbagai jenis penjajahan, yaitu rasa takut
akan kemalangan, kesengsaraan dan penderitaan hidup akibat kezaliman dan
keserakahan penjajah, juga rasa takut yang mendalam akan azab Allah di akhirat
kelak, akibat pengabaian terhadap hukum-hukum-Nya.
Lalu di puncak kebangkitan
hakiki, kaum muslimin dapat beribadah kepada Allah Swt secara
sempurna. Allah Swt berfirman :
يَعْبُدُونَنِي
لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً
“Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan
sesuatu pun”.
Menyembah
Allah SWT hakikatnya adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, baik itu yang berupa perbuatan seorang hamba dengan
Rabbnya, seperti sholat, puasa, haji, atau yang berkaitan dengan dirinya
sendiri, seperti akhlaq, makanan, dan minuman. Juga perbuatan yang mengatur
hubungannya dengan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, seperti bergaul,
berpendidikan, berekonomi, berpolitik, berhukum, semua harus berlandaskan Syariat
Islam.
Tidak
mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun, artinya tidak hanya
menyekutukan-Nya dengan menyembah berhala, batu, pohon, kuburan, keris. Akan
tetapi menyekutukan-Nya juga berarti mengambil hukum selain hukum-Nya, yaitu
dengan mengambil hukum produk manusia yang sarat kepentingan dan kecacatan.
Ada satu
ungkapan yang sangat baik yang disampaikan oleh salah satu imam besar, yaitu
imam Malik, beliau adalah amirul mu’minin fil hadist, dalam syairnya beliau berkata:
وَلَا يُصْلِحُ آخرَ هذه
الأمة إلا ما أصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Dan tidaklah akhir dari umat ini menjadi baik kecuali dengan apa-apa yang
bisa membuat awal umat ini menjadi baik”.
Kata mutiara yang disampaikan Imam Malik ini semakin menegaskan kita, bahwa
hanya Islam lah satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat ini untuk
mengembalikan kebangkitan, kejayaan, dan keagungannya. Sebagaimana Islam pula
lah yang telah membangkitkan umat ini dahulu, mengangkat mereka dari hinanya
kekufuran dan kejahilan menuju agungnya dengan Islam.
*Penulis adalah Ahmad TI. Santri Ma'had Al Mufasi Kairo - Mahasiswa Universitas Al Azhar Mesir.
Referensi: