Sabtu, 23 Desember 2017

MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL DAN IKUT MERAYAKANNYA : SEBUAH MUSIBAH!
oleh : Al Faqir ilal Haq Muhammad Rivaldy Abdullah

Banyak pertanyaan masuk melalui whatsApp maupun Telegram mengenai hukum mengucapkan selamat natal(sekaligus) ikut merayakannya bagi seorang Muslim.

Sebetulnya telah banyak ulama dan para ustadz yang telah membahas hal ini dan kesemuanya sepakat bahwasanya ikut merayakan Natal bagi seorang Muslim adalah sebentuk kekufuran. Hukumnya haram secara mutlak; baik itu sekedar menghadiri saja, apalagi ikut masuk ke gereja dan melakukan
aktivitas ibadah seperti orang orang kafir itu lakukan di sana.

Allaah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur(kemaksiatan), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 72)

Imam Mutawalli As-Sya’rawi(ulama kharismatik Al Azhar Mesir), menafsirkan :

أي: لا يحضرون الباطل في أيّ لون من ألوانه قولاً أو فعلا ً أو إقراراً، وكل ما خالف الحق.

“(Maksud dari kalimat –orang orang yang tidak menyaksikan az-zuur-) yakni : Orang orang yang tidak menyaksikan kebathilan, dalam segala rupanya. Baik berupa ucapan atau tindakan atau ketetapan. (Dan juga tidak menghadiri) segala hal yang menyelisihi al-Haq”. (As-Sya’rawi, Kitab Tafsir As-Sya’rawi, Juz 17/pembahasan Surah Al Furqan)

Imam Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “Az-Zuur (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabi’ bin Anas, al-Qadhi Abu Ya’la dan ad-Dhahak.” (Ibn Taimiyyah, Kitab Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537)

Menyaksikan saja sudah terlarang, apalagi ikut menghadiri dan merayakannya.
Dan dari penjelasan Imam As-Sya’rawi di atas, tentu kita bisa menyimpulkan bahwa mengenakan atribut, pernak pernik serta pakaian hari raya agama lain adalah terlarang. Hal itu sama dengan persetujuan dengan kebathilan mereka.

Dalam hadits penuturan Anas :

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. Ahmad 3/178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

Ibnu Hajar lantas mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Ibn Hajar Al Asqalani, Kitab Fathul Bari, 2/ 442).

Imam As-Suyuthi As-Syafi’I berkata :

واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين من المسلمين من يشاركهم في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف الصالحين المقتفي لآثار نبيه سيد المرسلين

”Dan ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf terdahulu dari kaum muslimin yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka, maka seorang mukmin yang benar (imannya) adalah seseorang yang menempuh jalan salafussholih yang mengikuti jejak sunnah Nabi-Nya, penghulu para Rasul (Muhammad shallallahu ’alayhi wa sallam-).” (As-Suyuthi, Kitab Haqiqat As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 125)

Adapun mengenai hukum mengucapkan selamat natal, semua ulama juga sepakat akan keharamannya. Kecuali segelintir ulama “zaman now” memasukkan perbuatan itu ke dalam perkara muammalah/urusan keduniaan (bukan akidah atau ibadah). Sehingga hukumnya –menurut mereka- adalah boleh boleh saja bagi seorang muslim mengucapkan selamat natal. Bahkan ada ulama Indonesia yang dengan seenaknya mengatakan, bahwa ucapan selamat Natal itu ada di dalam AlQur’an. Yakhrab baytuh!

Padahal Natal bukanlah hari kelahiran Yesus, sebagaimana dituturkan orang orang Kristen sendiri. Dalam Ensiklopedi Katolik, dengan judul : Christmas, akan ditemukan kalimat yang berbunyi sebagai berikut :

”Christmas was not among the earliest festivals of Church...the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to Christmas”.
“Natal bukanlah upacara Gereja yang pertama….melainkan ia diyakini berasal dari Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus” [selesai]. (Catholic Encyclopedia, Ed. 1911)

Karena itu sebetulnya ucapan selamat ini untuk siapa dan dalam rangka apa?!

Ulama ulama salaf dari empat madzhab pun –semoga Allaah senantiasa merahmati mereka yang senantiasa berada di jalan yang lurus- juga telah banyak memfatwakan haramnya mengucapkan selamat/ tahni’ah terkait dengan perayaan agama lain.

Dalam madzhab Syafi’I misalnya. Imam Al Khatib As Syarbini memfatwakan agar orang yang mengucapkan selamat kepada perayaan agama lain untuk di ta’zir/dihukum sebagai tindakan kriminal. (As- Syarbini, Kitab Mughni al-Muhtaj, 4/255)

Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi’I berkata :

ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ ما يُوَافِقُ ما ذَكَرْتُهُ فقال وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى في أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لهم وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فيه وَأَكْثَرُ الناس اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وقد قال صلى اللَّهُ عليه وسلم من تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ منهم بَلْ قال ابن الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شيئا من مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا، وَلَا يُعَارُونَ شيئا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هو مُعَاوَنَةٌ لهم على كُفْرِهِمْ، وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ الْمُسْلِمِينَ من ذلك

"Kemudian aku melihat sebagian imam-imam kami dari kalangan mutakhirin (belakangan) telah menyebutkan apa yang sesuai dengan apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata : "Dan diantara bid'ah yang paling buruk adalah kaum muslimin menyepakati kaum nashrani dalam perayaan-perayaan mereka, yaitu dengan meniru-niru mereka dengan memakan makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, menerima hadiah dari mereka. Dan orang yang paling memberi perhatian akan hal ini adalah orang-orang Mesir. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka"
Bahkan Ibnul Haaj telah berkata, "Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual bagi seorang nashrani apapun juga yang berkaitan dengan kemaslahatan perayaan mereka, baik daging, sayur, maupun baju. Dan tidak boleh kaum muslimin meminjamkan sesuatupun juga kepada mereka meskipun hanya meminjamkan hewan tunggangan karena ini adalah bentuk membantu mereka dalam kekafiran mereka. Dan wajib bagi pemerintah untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut" (Al-Haitami, Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 4/238)

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah –dari madzhab Hanbali- berkata :

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Kitab Ahkaam Ahlidz Dzimmah, 1/441)

Dalam kitab Al-Iqnaa' fi Fiqh al Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam Abu An-Naja Al Maqdisi berpendapat :

ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى وبيعه لهم فيه ومهاداتهم لعيدهم ويحرم بيعهم ما يعملونه كنيسة أو تمثالا ونحوه وكل ما فيه تخصيص كعيدهم وتمييز لهم وهو من التشبه بهم والتشبه بهم منهي عنه إجماعا وتجب عقوبة فاعله

"Dan haram menyaksikan perayaan yahudi dan kaum nasrani, dan haram menjual kepada mereka dalam perayaan tersebut serta haram memberi hadiah kepada mereka karena hari raya mereka. Haram menjual kepada mereka apa yang mereka gunakan (dalam acara mereka) untuk membuat gereja atau patung dan yang semisalnya (seperti untuk buat salib dll-pen). Dan haram seluruh perkara yang yang menunjukkan pengkhususan mereka seperti perayaan mereka, dan seluruh perkara yang menunjukkan pembedaan bagi mereka, dan ini termasuk bentuk tasyabbuh (meniru-niru) mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan/konsus) para ulama. Dan wajib memberi hukuman kepada orang yang melakukan hal ini" (Al Maqdisi, Kitab Al-Iqnaa', 2/49)

Dari madzhab Hanafi :

قَالَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - (وَالْإِعْطَاءُ بِاسْمِ النَّيْرُوزِ وَالْمِهْرَجَانِ لَا يَجُوزُ) أَيْ الْهَدَايَا بِاسْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ حَرَامٌ بَلْ كُفْرٌ وَقَالَ أَبُو حَفْصٍ الْكَبِيرُ - رَحِمَهُ اللَّهُ - لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَبَدَ اللَّهَ تَعَالَى خَمْسِينَ سَنَةً ثُمَّ جَاءَ يَوْمُ النَّيْرُوزِ وَأَهْدَى إلَى بَعْضِ الْمُشْرِكِينَ بَيْضَةً يُرِيدُ تَعْظِيمَ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ وَحَبَطَ عَمَلُهُ وَقَالَ صَاحِبُ الْجَامِعِ الْأَصْغَرِ إذَا أَهْدَى يَوْمَ النَّيْرُوزِ إلَى مُسْلِمٍ آخَرَ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ تَعْظِيمَ الْيَوْمِ وَلَكِنْ عَلَى مَا اعْتَادَهُ بَعْضُ النَّاسِ لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ خَاصَّةً وَيَفْعَلُهُ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ لِكَيْ لَا يَكُونَ تَشْبِيهًا بِأُولَئِكَ الْقَوْمِ، وَقَدْ قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

Beliau (Abul Barokaat An-Nasafi Al-Hanafi) berkata : "Dan memberikan hadiah dengan nama hari raya Nairus dan Mihrojaan tidak diperbolehkan". Yaitu memberikan hadiah-hadiah dengan nama kedua hari raya ini adalah haram bahkan kekufuran. Berkata Abu Hafsh Al-Kabiir rahimahullah : "Kalau seandainya seseorang menyembah Allah Ta'aalaa selama 50 tahun kemudian tiba hari perayaan Nairuuz dan ia memberi hadiah sebutir telur kepada sebagian kaum musyrikin, karena ia ingin mengagungkan hari tersebut maka ia telah kafir dan telah gugur amalannya". Penulis kitab Al-Jaami' As-Ashghor berkata : "Jika pada hari raya Nairuz ia memberikan hadiah kepada muslim yang lain, dan dia tidak ingin mengagungkan hari tersebut akan tetapi hanya mengikuti kebiasaan/tradisi sebagian masyarakat maka ia tidaklah kafir, akan tetapi hendaknya ia tidak melakukannya pada hari tersebut secara khusus, namun ia melakukannya sebelum atau sesudah hari tersebut agar tidak merupakan tasyabbuh dengan mereka. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda ((Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka)). (Ibn Nujaim Al Mishri, Kitab Al-Bahr Ar-Raa’iq Syarh Kanzul Daqaa’iq, 8/555)

Dari madzhab Maliki, Imam Ibnul Haaj Al Maliki berfatwa :

وَبَقِيَ الْكَلَامُ عَلَى الْمَوَاسِمِ الَّتِي اعْتَادَهَا أَكْثَرُهُمْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهَا مَوَاسِمُ مُخْتَصَّةٌ بِأَهْلِ الْكِتَابِ فَتَشَبَّهَ بَعْضُ أَهْلِ الْوَقْتِ بِهِمْ فِيهَا وَشَارَكُوهُمْ فِي تَعْظِيمِهَا يَا لَيْتَ ذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي الْعَامَّةِ خُصُوصًا وَلَكِنَّك تَرَى بَعْضَ مَنْ يَنْتَسِبُ إلَى الْعِلْمِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ... بَلْ زَادَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُمْ يُهَادُونَ بَعْضَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي مَوَاسِمِهِمْ وَيُرْسِلُونَ إلَيْهِمْ مَا يَحْتَاجُونَهُ لِمَوَاسِمِهِمْ فَيَسْتَعِينُونَ بِذَلِكَ عَلَى زِيَادَةِ كُفْرِهِمْ

Tersisa pembicaraan tentang musim-musim (hari-hari raya) yang biasa dilakukan oleh kebanyakan mereka padahal mereka mengetahui bahwasanya hari-hari raya tersebut adalah khusus hari raya ahul kitab. Maka sebagian orang zaman ini bertasyabbuh dengan mereka (ahlul kitab), menyertai mereka dalam mengagungkan hari-hari raya tersebut. Duhai seandainya tasyabbuh tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang muslim awam, akan tetapi engkau melihat sebagian orang yang berafiliasi kepada ilmu juga melakukan hal tersebut. Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi hingga mereka memberikan hadiah kepada sebagian ahlul kitab pada hari-hari raya mereka, mengirimkan untuk mereka apa yang mereka butuhkan dalam perayaan mereka, sehingga dengan hal ini para ahlul kitab terbantukan untuk lebih terjerumus dalam kekafiran. (Ibnul Haaj, Kitab Al-Madkhal, 2/46-48)

Kesemua ulama itu dengan jelas dan tegas melarang mengucapkan selamat dan ikut berbahagia dengan perayaan agama lain. Apakah ulama ulama itu bodoh? Tentu tidak. Apakah ulama ulama itu ilmunya tidak bersanad? Tentu tidak.

Yang jelas, ulama ulama itu tidak berfatwa dengan harapan agar mereka dianggap toleran, lembut, dan bijak. Mereka tidak berfatwa UNTUK MENCARI MUKA DAN AGAR TIDAK DISEBUT EKSTREMIS/RADIKAL. Semoga Allaah menjaga mereka, yang telah berusaha menjaga Dien ini yang mulia.

Apakah orang orang yang memfatwakan bolehnya ucapan selamat, adalah orang orang yang cari muka dan ingin disebut arif bijaksana?Kami tidak mengatakan demikian.

Yang jelas, alasan orang orang itu membolehkan ucapan selamat natal karena hal ini bagian dari mujaamalah(basa basi) dan cara untuk merangkul mereka dengan Islam yang Toleran.
Kami ingin katakan bahwa mereka –orang orang kafir- tatkala mereka mati dengan kekafiran mereka, mereka akan dipanggang dalam neraka jahannam selamanya. Entah itu bisa jadi diantara mereka adalah saudara kita, teman kita, atau tetangga tetangga kita. Na’udzubillaahi min dzalik.

Sekarang kami bertanya : Tegakah kita membiarkan mereka kelak dipanggang di dalam Neraka Jahannam dan kekal didalamnya? Tegakah kita melihat mereka tersiksa –dengan siksaan yang amat dahsyat- di dalam neraka dan hal itu tiada berujung?! Tentu kita tidak boleh sedikitpun tega.

Bahkan, kalau lah boleh kami MEMAKSA MEREKA DENGAN PEDANG agar mereka masuk ke dalam Dien Islam, tentu akan kami lakukan. Mengingat nasib mereka yang menyedihkan kelak di akhirat. Tidakkah kita iba dengan nasib mereka kelak di Akhirat?!Kasihanilah mereka, wahai saudaraku seiman.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

”Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan pernah diterima (agama tersebut) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

Karena itulah, ucapan selamat dan dukungan atas perayaan hari raya agama lain adalah tindakan yang amat bodoh lagi jahat. Tindakan itu akan membuat orang orang kafir itu berpikir, bahwasanya apa yang mereka lakukan adalah perkara yang sah sah saja dan tidak akan membawa musibah. Padahal justeru sebaliknya. Apa yang mereka perbuat itu akan menjadi musibah bagi mereka dunia dan akhirat!

Khalifah Umar Ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berucap :

إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِم

“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (HR. Al-Baihaqi)

Khalifah Umar Ibnul Khattab bahkan melarang orang orang kafir dzimmi(yang berada dibawah pemerintahan Islam), untuk menampakkan syiar syiar hari raya mereka. Tidak boleh ada pernak pernik hari raya mereka di tengah tengah kaum Muslimin. (As-Suyuthi, Kitab Haqiqat As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 125)

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨)لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩)تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠)أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١)وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)

Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR(JELEK). Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menyerukan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak, dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (QS Maryam : 88-92).

Perhatikan lah urusan ini, saudaraku.. Demi Allaah ini bukan urusan yang sepele.Wallaahul musta’aan.
lisanulama.blogspot.com II www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Rabu, 20 Desember 2017

Jika Telinga Berdenging.
 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH


Ustad Rifaldi.. Benarkah kalau telinga berdenging kita dianjurkan shalawat?

-- Jawab --

Pendapat itu disandarkan pada sebuah hadits. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :


Dari Abu Rafi’ radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :
إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، وَلْيَقُلْ: ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Jika berdenging telinga salah seorang kalian maka ingatlah kepadaku dan bershalawatlah kepadaku, dan hendaknya dia berkata : DZAKARALLAHU MAN DZAKARANIY BIKHAIR – Allah akan mengingat siapa pun yang mengingatku dengan kebaikan.”

Hadits ini dikeluarkan oleh :
(1). Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 958, Al Awsath No. 9222, Ash Shaghir No. 1104. Beliau berkata dalam Al Awsath: “Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu Rafi’ kecuali dari isnad seperti ini, dan Ma’mar bin Muhammad menyendiri dalam meriwayatkannya.”
(2). Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa, 4/261, dia berkata: “Dia (Ma’mar bin Muhammad) haditsnya tidak bisa diikuti, dan dia tidak diketahui kecuali dengan isnad ini.”
(3). Ar Ruyani dalam Musnad-nya No. 718, Al Khara-ithiy dalam Makarimul Akhlaq No. 982
(4). Ibnus Sunniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 166
(5). Al Bazzar dalam Musnad-nya No. 3884, tanpa kalimat: “bershalawatlah kepadaku”
(6). Al Baihaqi dalam Ad Da’awat Al Kabir No. 490
(7). Yahya Asy Syajariy dalamTartib Al Amaliy No. 630


Namun, status hadits ini mesti dikaji terlebih dahulu. Tentang hadits di atas, Al Hafizh As Sakhawi mengatakan :

حَدِيث: إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي، وَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّه بِخَيْرٍ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ، الطبراني وابن السني في عمل اليوم والليلة، والخرائطي في المكارم، وآخرون عن أبي رافع مرفوعا بهذا، وسنده ضعيف، بل قال العقيلي: إنه ليس له أصل

"Hadits “Jika berdenging telinga salah seorang kalian maka ingatlah kepadaku dan bershalawatlah kepadaku, dan hendaknya dia berkata: DZAKARALLAHU MAN DZAKARANIY BIKHAIR – Allah akan mengingat siapa pun yang mengingatku dengan kebaikan.” Diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Ibnus Sunniy dlm amalul yaum wal lailah, Al Kharaitiy dalam Al Makarim, dan lainnya, dari Abu Rafi', secara marfu', dan sanadnya DHA'IF, bahkan Al 'Uqaili mengatakan: LAISA LAHU ASHL-tidak ada dasarnya." *(Al Maqashid Al Hasanah, 1/89)*

Imam Ibnul Qayyim juga mengatakan :

وَكُلُّ حَدِيثٍ فِي طَنِينِ الأُذُنِ فَهُوَ كِذْبٌ

"Semua hadits yang menyebutkan tentang telinga berdenging adalah DUSTA." *(Al Manar Al Munif, no. 119)*

Komentar Imam Asy Syaukani :

رَوَاهُ الْعُقَيْلِيُّ عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَرْفُوعًا. قِيلَ: هُوَ موضوع

Diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dari Abu Rafi’ secara marfu’. Dikatakan bahwa hadits ini palsu. *(Al Fawaid Al Majmuah, Hal. 224. Pentahqiq kitab ini: Syaikh Abdurraman bin Yahya Al Mua’limi Al Yamani mengatakan: “Seperti itulah hadits ini.”)*


Akan tetapi ada pendapat lain mengenai status hadits ini. Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini mengomentari ucapan Imam Ath-Thabrani:

“Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu Rafi’ kecuali dari isnad seperti ini, dan Ma’mar bin Muhammad menyendiri dalam meriwayatkannya.”

Juga Imam Al ‘Uqaili yang berkata: “Dia (Ma’mar bin Muhammad) haditsnya tidak bisa diikuti, dan dia tidak diketahui kecuali dengan isnad ini.”

Abu Ishaq mengatakan: “Semoga Allah meridhai kalian berdua!” Lalu Beliau menyebutkan beberapa sanad lain yang menjadi mutaba’ah (penguat) bagi sanad Ma’mar bin Muhammad, yaitu:

- Habban bin ‘Ali, berkata kepada kami: Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’, dengan sanad yang sama. (Ibnus Sunni, Al Yaum wal lailah No. 166, Ibnu ‘Adi, Al Kamil, 2/ 2126-2152)

- Mandal bin ‘Ali (Al Khat-ithiy, Makarimul Akhlaq No. 1022). *(Lihat, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Tanbih Al Hajid, 1/220-221)*


Al Hafizh Nuruddin Al Haitsami mengatakan: "Isnadnya Ath Thabarani dalam Al Kabir adalah hasan." *(Majma' Az Zawaid, 10/138)*

Oleh karena itu Az Zabidiy berkata:
"Tetapi Al Haitsami mengatakan isnad Thabrani dalam Al Kabir adalah hasan, ini membatalkan tudingan orang-orang yang mengatakan dha'if terlebih lagi yang menyatakan palsu, seperti Ibnul Jauzi dan Al 'Uqaili. Sedangkan Al Munawi dalam syarahnya terhadap Jaami' Ash Shaghir menyebutkan bahwa ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya, dengan lafaz seperti itu dari Abu Rafi'. Dan, Imam Ibnu Khuzaimah adalah seorang yang berkomitmen dalam kitabnya utk mencantumkan yang shahih, maka ketahuilah!!" *(Takhrij Ahadits Ihya 'Ulumuddin, 2/831)*

Kesimpulannya :

Para ulama tidak sepakat atas kedhaifan hadits ini walau mayoritas meragukan keshahihannya bahkan menganggapnya palsu.

Hal ini tentu saja berimplikasi pada kehujjahannya, bagi yang menganggapnya dhaif dan palsu hadits ini tidak layak diamalkan. Bagi yang menilainya shahih dan hasan, tentu mereka tidak berhalangan mengamalkannya.

Sekalipun dhaif, akhirnya tidak sedikit yang tetap menjadikannya sebagai hujjah untuk fadhailul a’mal. Karena itu, jika telinga berdenging bershalawatlah. Tidak ada salahnya.

Ingat, perkara ini tidak boleh menjadi sebab keributan sesama muslim. Wallahu a'lam || lisanulama.blogspot.com

Sabtu, 16 Desember 2017

Sistem Baku Khilafah Islamiyyah
 Grup WA Ngaji Fiqh

Benarkah sistem pemerintahan Khilafah Islam itu tidak ada bentuk bakunya?

--- Jawab ---

Perhatikan point - point berikut :

1- Istilah "Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah" itu berasal dari hadits Nabi.

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ..

"Ada Masa Kenabian di tengah tengah kalian, yang berlangsung sesuai dengan yang Allaah kehendaki. Kemudian Allaah angkat masa kenabian itu, jika Allaah berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncullah masa Khilafah 'ala Minhaj An-Nubuwwah..."
[Musnad Ahmad, 30/355; Hadits Shahih].

Makna, "Ala Minhaj An Nubuwwah" itu berarti Khilafah yang dijalankan para sahabat adalah copy paste dari Nabi, bukan bikinan sahabat. Sahabat tinggal melanjutkan negara dan sistem yang dibangun Nabi.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Mahmud Sa'id Mamduh (Muhaddits asal Mesir).

2- Nabi menegakkan hukum Allaah dan menjalankan negara, sebagai kepala Negara Islam pertama, dengan ibukotanya Madinah selama 10 tahun. Selain ada kepala negara, ada wazir [pembantu kepala negara], yaitu Abu Bakar dan 'Umar.

Dari Abu Sa'id Al Khudry, ia berkata; Bahwasanya Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

..و إنّ وزيري من أهل الأرض أبو بكر وعمر.

".. Sesungguhnya kedua wazirku dari penduduk bumi ialah Abu Bakar dan 'Umar."
[At-Tarikh Al-Kabir lil Bukhari, 1/865].

3- Karena Negara Islam zaman Nabi meliputi Jazirah Arab [Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar], maka Nabi pun mengangkat sejumlah wali [kepala daerah]. Mu'adz di Janad, Ziyad di Yaman, Abu Musa di Zabid dan 'Aden. Setelah itu Umar -sebagai Khalifah- pun juga menunjuk Wali. Di antaranya Amr Ibn Al Ash sebagai Wali di Mesir.

4- Nabi juga mempunyai pasukan perang yang terlatih. Nabi terkadang memimpin sendiri peperangan [27 kali]. Di zamannya, tidak kurang 79 kali perang besar [ma'rakah], dan perang kecil [sariyyah]. Semuanya ada Panglima Perangnya.

5- Mengenai Majelis Syura [Majelis Umat], di zaman Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam juga sudah ada. Mereka terdiri dari Abu Bakar, 'Umar, Hamzah, 'Ali, Salman Al-farisi, Hudzaifah al-Yaman.

6- Urusan administrasi [pencatatan], pada zaman Nabi sudah ada para pencatat urusan: (1) Wahyu, seperti Zaid bin Tsabit; (2) Penjaga rahasia Nabi [Shahib Sirr an-Nabi], yaitu 'Abdullah bin Mas'ud, dll.

7- Negara Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, berbentuk Negara Kesatuan, karena wilayahnya satu, hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam, diterapkan di seluruh wilayah.

Dari Abu Sa'id Al Khudry, ia berkata; Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما

"Jika dibai'at dua khalifah, bunuhlah yang terakhir" [HR. Muslim No. 61]

8- Negara Nabi, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, juga bukan sistem Monarki Absolut(kerajaan) maupun Parlementer. Bukan pula Repulik, Presidensil maupun Parlementer. Nabi dan para Khulafa' Rasyidin bukan Raja, Perdana Menteri, atau Presiden. Tapi, kepala Negara Islam yang khas.

9- Jika Nabi mengajarkan shalat lalu bersabda, "Shallu kama raitumuni ushalli", setelah itu para sahabat mengcopy paste tatacara shalat Nabi. Tatacara itu diajarkan semasa Nabi hidup, begitu pula dlm menjalankan negara. Tidak kurang selama 10 tahun sejak di Madinah hingga wafat.

10- Ketika Nabi wafat, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk memilih siapa yang akan menggantikan Nabi dalam mengurus urusan negara dan umatnya. Mereka berselisih soal siapa yang lebih pantas, bukan wajib atau tidak adanya Khalifah?

11- Setelah Abu Bakar terpilih secara aklamasi, maka Abu Bakar pun dibai'at menjadi Khalifah, pengganti Nabi dalam mengurus negara. Beliau dibai'at di Masjid Nabawi. Bai'at ini juga menjadi metode baku dalam pengangkatan Khalifah, meski teknisnya bisa berbeda. Ini teknis.

12- Sebelum Abu Bakar wafat, beliau melakukan survei kepada penduduk Madinah, siapakah yang layak menggantikan dirinya. Muncullah nama 'Umar dan 'Ali. Maka, Abu Bakar pun menunjuk 'Umar. Ini teknis, bukan metode. Metodenya tetap bai'at. 'Umar pun dibai'at menjadi Khalifah.

13- Menjelang wafat, 'Umar menunjuk formatur untuk memilih Khalifah yang akan menggantikannya. Ini juga bukan metode, tetapi teknis. Metodenya tetap, bai'at. Karena itu, setelah 'Utsman terpilih melalui formatur, beliau pun dibai'at menjadi Khalifah.

14- Bahkan, ketika Sayyidina 'Ali dan Hasan bin Ali menjadi Khalifah, keduanya juga dibai'at. Sampai akhirnya, masing-masing menjadi Khalifah. Begitulah, sistem ini dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat, diwariskan turun temurun. Jadi, Khilafah ini bukan buatan ulama'.

15- Bukti bahwa negara ini mempunyai bentuk baku, sistemnya jelas, adalah keteraturan dan capaian yang dihasilkan selama 10 tahun zaman Nabi, dan 30 tahun zaman Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah. Kalau tidak ada bentuk baku dan sistemnya, pasti amburadul. Sekarang saja amburadul.

16- Bukti, bahwa negara ini bukan buatan ulama', kitab yang mengulas tentang negara, yang paling tua adalah kitab al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis oleh Ibn Qutaibah [w 276 H]. Ditulis abad ke-3 H. Artinya, 241 tahun setelah Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah.

17- Bahkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, baru ditulis oleh Imam al-Mawardi [w. 450 H], oleh al-Farra' [w. 458 H], pada abad ke-5 H. Itu pun ditulis di era kemunduran Khilafah 'Abbasiyyah, agar umat paham tatakelola negara menurut syariah. Karena umat sudah agak samar mengenai sistem pemerintahan Khilafah.

18- Kitab-kitab yang ditulis para ulama' di zaman itu, bersifat komplementer, karena sistemnya sudah berjalan. Kitab-kitab ini ditulis untuk meluruskan kembali kebengkokan dan kesalahan dalam menerapkan Islam. Karena itu, apa yang ditulis oleh Imam al-Mawardi bukan rekaan beliau.

Karena itu, siapapun yang menyatakan, bahwa Khilafah tidak mempunyai bentuk baku, jelas menyalahi nash, baik al-Qur'an, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Juga menyalahi logika, sebagaimana yang diuraikan di atas. Wallahu a'lam. (KH. Hafidz Abdurrahman, dengan sedikit perubahan).

Ngaji FIQH
📝 Maulid Nabi - Moment mengenang Perjuangan Nabi (2)
🌸💎 Grup WhatsApp Ngaji FIQH 💎🌸

Telah tiba masa dimana sebagian muslim lebih peduli dengan kegiatan/agenda kelompoknya sendiri, jamaahnya sendiri, kajiannya sendiri, syaikhnya sendiri, gurunya sendiri, dan individu mereka masing masing; akan tetapi dengan kegiatan yang berkenaan pribadi Nabi malah enggan. Subhanallaah..

Telah hilang pengagungan mereka kepada Nabi, bahkan mengatakan bahwa hal itu sesuatu yang berlebihan. Lain cerita jika acara itu menyangkut organisasi/jamaah mereka, maka tidak dianggap haram. Padahal telah jelas bagaimana kecintaan sahabat terhadap Nabi, yang ditunjukkan dengan berbagai ekspresi. Apakah ekspresi-ekspresi tersebut disalahkan Nabi? Akan kita paparkan nanti bagaimana ekspresi-ekspresi kecintaan para sahabat terhadap Nabi.

Bahkan jika kita menelisik lebih dalam kitab-kitab para ulama, kita temukan bahwasanya para Ulama memiliki sikap yang inshaf dalam menilai peringatan Maulid Nabi. Dan hal tersebut ditunjukkan dengan keterangan-keterangan berikut.

1. Syaikhul Islam Imam Ibn Hajar Al Asqalani. Di ceritakan :

أَنَّهُ سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ حَافِظُ الْعَصْرِ أَبُو الْفَضْلِ أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ فَأَجَابَ بِمَا نَصُّهُ أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَمَنْ لَا فَلَا

Bahwasanya Syaikhul Islam Hafizh Al 'Ashr(Ulama Hadits Zaman ini) Abul Fadhl Ahmad bin Hajar ditanya tentang hukum Maulid, beliau menjawab: "Pada dasarnya maulid adalah bid'ah dan tidaklah dinukil satu pun dari salafush shalih yang ada pada tiga zaman, namun demikian pada acara tersebut terkandung di dalamnya kebaikan-kebaikan dan juga sebaliknya. maka, siapa saja yang pada acara itu hanya melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi yang buruk, maka itu adalah bid'ah hasanah, dan jika tidak demikian, maka tidak boleh."

قَالَ وَقَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى } فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ وَدَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ الَّذِي هُوَ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ

Dan Imam Ibn Hajar berkata : _"Telah nampak bagiku riwayatnya pada pijakan yang kokoh, yaitu yang terdapat dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam datang ke Madinah, dia mendapatkan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu dia menanyakan mereka.

Mereka menjawab: “Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.” Maka, faidah dari kisah ini adalah melakukan perbuatan syukur kepada Allah atas karunia yang diberikanNya di hari tertentu berupa nikmat dan dijauhi dari bencana, dan mengulangi hal itu pada hari tersebut di setiap tahunnya.

Bersyukur kepada Allah bisa dilakukan dengan bermacam-macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, dan tilawah. Dan, nikmat apakah yang paling besar dibanding nikmat kelahiran Nabi yang mulia ini, dialah Nabi yang menjadi rahmat pada hari itu." (Ibn Hajar Al Haitamiy, Tuhfatul Muhtaaj, 31/377-378)

Bahkan terdapat ayat Qur'an yang berbunyi :

وَذَكِّرْهُم بِأَيّٰمِ اللّٰه..

"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allaah.." (QS. Ibrahim[14] : 5)

Imam Al Bayhaqi dari Ubay Ibn Ka'ab, meriwayatkan dari Rasulullah bahwa Ayyamillah(Hari hari Allaah) ini ditafsirkan sebagai nikmat dan karunia Allaah.
Karena itu, kelahiran Nabi Muhammad termasuk nikmat dan karunia yang layak diperingati, dengan tanpa berlebih lebihan. (Ali Jum'ah, Al Bayan, 1/173)

2. Al Imam Al ‘Iraqi berkata :

إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت، فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الشهر الشريف، ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها، فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجب

“Sungguh melakukan perayaan (walimah) dan memberikan makan disunnahkan pada setiap waktu, apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan kegembiraan dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pada bulan yang mulia ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu makruh (dibenci), betapa banyak bid’ah yang disunnahkan bahkan diwajibkan” (Ad Durar As Saniyah, Hal. 19)

3. Al Imam Al Muhaddits As Sakhawi berfatwa :

قال السخاوي إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أهل الإسلام من سائر الأقطار والمدن الكبار يعملون المولد ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم

"Sesungguhnya amalan maulid baru terjadi setelah tiga zaman (maksudnya zaman nabi, sahabat, dan tabi’in), kemudian penduduk Islam di seluruh penjuru dan kota-kota besar melakukannya dan mereka bersedekah pada malam harinya dengan berbagai macam sedekah dan secara khusus membaca kisah kelahirannya yang mulia, dan nampaklah keberkahan bagi mereka pada setiap keutamaannya." (Ad-Dimyati, I'anathuth Thalibin, 3/364)

4. Imam Abu Syamah(Gurunya Imam Nawawi), berfatwa :

ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور فإن ذلك مع ما فيه من الإحسان للفقراء مشعر بمحبة النبي صلى الله عليه وسلم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أرسله رحمة للعالمين

"Di antara bid'ah terbaik yang ada pada zaman kita adalah apa yang dilakukan pada setiap tahun di hari bertepatan dengan kelahiran Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, mereka bersedekah, melakukan hal yang ma'ruf, menampilkan keindahan dan kebahagian, sebab yang demikian itu selain merupakan bukti berbuat baik kepada para fuqara juga merupakan wujud mencintai Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dan memuliakannya di hati pelakunya, yang telah bersyukur kepada Allah Ta'ala atas karunia kehadiran Nabi shallallahu 'alayhi wasallam yang diutusNya sebagai rahmat bagi semesta." (Ad Dimyati, I'anatuth Thalibin, 3/364)

Bersambung..
🌸💎 Silahkan Share..
Ngaji FIQH : WA (+20 1019133695)

Minggu, 10 Desember 2017

📝 *Maulid Nabi Muhammad : Moment mengenang Perjuangan Nabi - 1 (Silahkan Share)*
💎🌸 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH 🌸💎

Pak ustadz, mau nanya,
Emangnya maulid orang syiah seperti apa sih?? Kok bisa2nya muslim yg mengadakan maulid dianggap mengikuti syiah..

Jawab :

Seandainya merayakan Maulid dicap sebagai Syi'ah, maka SYI'AH LAH IMAM AL JAZARI(Imam Para Ahli Qiraat).

Syaikh Yusuf An-Nabhani, dalam kitabnya "Al Anwar Al Muhammadiyyah min Al Mawaahib Ad-Diniyyah", menukil ucapan Imam Al Jazari :
فإذا كان هذا أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي بفرحه ليلة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فما حال المسلم الموحد من
أمته؟ يُسرّ بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله العميم جنات النعيم. ولا زال أهل الإسلام يحتفلون بشهر مولده عليه الصلاة والسلام و يعملون الولائم ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويظهرون السرور ويزيدون في المبرّات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر عليهم من بركاته كلُّ فضل عميمٍ

"Jika Abu Lahab kafir yang disebutkan celanya dalam AlQur'an, ia tetap diberi balasan meskipun ia di dalam Neraka, karena rasa senangnya pada malam Maulid Nabi. Maka bagaimanakah keadaan seorang muslim yang bertauhid dari ummat Nabi Muhammad shallallaahu 'alayhi wasallam yang bahagia dengan kelahirannya dan mengerahkan segenap kemampuannya dalam mencintai Rasulullaah. Sungguh, pastilah balasannya dari Allaah Ta'aala ia akan dimasukkan ke dalam Syurga karena karunia-Nya. Dan Ummat Islam senantiasa memperingati bulan Maulid Nabi dan mengadakan jamuan-jamuan serta bershodaqoh pada malam malamnya dengan beragam macam shodaqoh. Kemudian mereka menampakkan kebahagiaan dan semakin bertambah dengan berbagai kebaikan. Mereka pun bersungguh sungguh dalam membaca sejarah kelahiran Nabi dan tampaklah keberkahan dengan segala keutamaan amal amal itu." (Yusuf An-Nabhani, Al-Anwar Al-Muhammadiyyah, hal. 40)

Bahkan Imam Al Jazary rahimahullaah mengarang kitab tersendiri tentang Maulid Nabi, "عرف التعريف بالمولد الشريف"

Seandainya mengakui amal shalih dengan Maulid itu dicap Syi'ah, maka SYI'AH LAH IMAM IBNU TAIMIYYAH.

Ia berkata :
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم

"Mengagungkan hari Maulid dan menjadikannya sebagai perayaan tahunan dilakukan sebagian orang, maka ia mendapat balasan pahala yang besar karena kebaikan niatnya dan pengagungannya kepada Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam." (Ibn Taimiyah, Iqtidha As-Shirat Al-Mustaqim, hal. 297)

Seandainya membela amal Maulid Nabi itu dicap Syi'ah, maka SYI'AH LAH IMAM AS-SUYUTHI (Imam Hafidz Ahlussunnah Wal Jamaah).

Bahkan, Imam As-Suyuthi mengarang kitab tersendiri mengenai amaliyah Maulid, dengan judul "حسن المقصد في عمل المولد"
والجواب عندي أن أصل عمل مولد الذي هو إجتماع الناس، وقراءة ما تيسر من القرآن، ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم، وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك؛ هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها؛ لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والإستبشار بمولده الشريف.

"Dan jawaban dariku bahwa dasar amaliyah Maulid -yakni berkumpulnya manusia dalam satu peringatan, pembacaan AlQur'an dan pembacaan riwayat riwayat mengenai kehidupan Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam; serta apa yang ada kaitannya dengan Maulid dari ayat Qur'an, hingga disajikannya makanan tanpa berlebih lebihan; itu semua bid'ah hasanah dimana pelaksananya diberi pahala. Hal itu karena peringatan ini didasari atas pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan kebahagiaan dan kabar gembira dengan kelahiran Nabi yang Mulia." (Ali Jum'ah, Al Bayaan lima Yasghalul Adzhan, 1/171)

Tatkala dikatakan, bahwa Maulid tidak ada dalilnya dari Qur'an dan Sunnah, jawaban Imam Suyuthi ialah :

نفي العلم لا يلزم منه نفي الوجود

"Ketiadaan pengetahuan atas sesuatu tidak otomatis menafikan keberadaannya". Amal Maulid sebetulnya berdasar atas Qur'an dan Sunnah. Hanya saja kita belum paham. Dan akan kita bahas, in Sya Allaah.

Bersambung..

Senin, 09 Oktober 2017

Mengambil Untung dalam Bisnis menurut Islam


Soal Jawab Grup Telegram Ngaji FIQH #121

Assalamualaikum ustadz. Mau nanya, boleh g kl kita menjual barang 2 kali lipat dr harga aslinya, tp masih sesuai dengan harga pasar.


Jawab :


Wa'alaykumussalaam.wr.wb.
Dalam Islam, tidak ada pembatasan keuntungan dalam bisnis; sepanjang keuntungan itu tidak mendzalimi orang lain, tidak menyulitkan masyarakat sebagai konsumen, dan masih dalam batas kewajaran.


Sebagian ulama memang ada yang berpendapat : Tidak boleh mengambil untung dari perdagangan lebih dari 30% dari harga modal. (Syaikh As-Syatiri, Syarh Al Yaqut An Nafis, hal. 345)
Bahkan dikatakan bahwa Imam Abu Hanifah mengambil untung dari perdagangannya(dimana sang Imam dikenal juga sebagai pedagang sukses) tidak lebih dari 5%. (Syarh Al Yaqut An Nafis, hal. 345)


Hanya saja, beberapa keterangan nash berikut menunjukkan bahwasanya keuntungan boleh diambil berapa saja. Tergantung kebutuhan si pedagang.


1. Allaah Ta'aala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا


"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An-Nisa'[4]:29)


Syaikh Wahbah Zuhaily rahimahullaah berkata, menafsirkan ayat ini :


"Diungkapkannya frasa amwaalakum (harta harta kalian), menunjukkan bahwasanya harta yang dimiliki individu merupakan bagian dari harta ummat. Tentu dengan tetap menjaga dan menghormati perolehan serta kepemilikan individu. Juga dengan tetap menghormati hak orang untuk mengelola hartanya sendiri dengan leluasa; selama tidak menimbulkan dharar(bahaya) bagi kemaslahatan umum." (At-Tafsir Al Munir, 5/33)


Jual beli dengan penjual meraup untung sebagaimana yang ia perlukan merupakan hal yang boleh, dan tercakup ke dalam keumuman lafadz "perniagaan yang didasari suka sama suka" dalam ayat ini.


Walhasil, penjual bebas mematok untung berapa saja(karena itu harta yang ia peroleh sendiri), namun tetap dengan catatan : Tidak menimbulkan dharar.


Maksud dharar yang mungkin timbul dalam masalah ini adalah adanya ghasy(penipuan), ihtikar(penimbunan barang) serta ghabn fahsy(pengelabuan harga), yang tidak boleh dilakukan.


Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :

البيع عن تراض، والخيار بعد الصفقة، ولا يحل لمسلم أن يغبن مسلما


"Jual beli itu saling ridha; dan khiyar ada setelah aqad. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menipu (dengan pengelabuan harga) muslim yang lain". (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 4/490)


2. Hadits riwayat 'Urwah -Ibn Abi Al Ja'd Al Bariqiy- radhiyallaahu 'anhu ia berkata :

أَعْطَاهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم دِينَاراً يَشْتَرِي بِهِ أُضْحِيَةً - أَوْ شَاةً - فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ ، فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ ، فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ ، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ ، فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ .


"Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberinya satu dinar untuk dibelikan hewan qurban –seekor kambing-. Lalu dia membeli dua ekor kambing, salah satunya dijual dengan seharga satu dinar, lalu dia memberi beliau seekor kambing dan satu dinar. Maka beliau mendoakan semoga dia mendapatkan barokah dalam jual belinya. Maka sejak saat itu seandainya dia membeli debu, niscaya dia mendapatkan keuntungan."
(HR. Abu Dawud No. 3384)


Dari hadits ini menunjukkan bahwasanya Urwah menjual kambingnya dengan harga dua kali lipat. Itu berarti, mengambil untung lebih dari 30% harga modal adalah boleh.
Namun, bagi para pedagang dan pebisnis hendaknya mengingat hadits ini. Syari'at memuji siapa pun -yang berbisnis-, yang bermudah mudah dalam masalah harga.


Dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu anhuma : Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda,


"Semoga Allah merahmati seseorang yang mudah apabila menjual, membeli dan jika menuntut haknya." (HR. Bukhari, No. 1970)


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Hajar rahimahullah,
"Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk bersikap toleran dalam bermuamalah (transaksi), dan berakhlak mulia, meninggalkan pertikaian serta anjuran untuk tidak berlaku keras terhadap orang lain saat menuntut haknya serta mudah memberi maaf kepada mereka." (Fathul Bari, 4/307)
Wallaahu a'lam.
🌸 Tiada hari, tanpa Menebar Ilmu..
Ngaji FIQH

4 Bulanan Syukuran

Soal Jawab Grup Telegram Ngaji FIQH #81

Adakah pembahasan seputar syukuran 4bulanan atau 7bulanan ibu hamil?

Jawab :

Memang sebagian orang mengingkari acara syukuran tersebut, dengan alasan tiada dalil yang menunjukkan akan perbuatan itu.

Menurut kalangan ini, amalan-amalan yang semestinya dikerjakan oleh wanita yang sedang hamil adalah sebagaimana amalan para wanita muslimah pada umumnya, baik ketika hamil ataupun tidak hamil, yaitu:

» Memperbanyak dzikirullah dan amalan-amalan sunnah seperti baca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, sholat sunnah, shodaqoh, dsb.

» Bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang dianugerahkan kepadanya berupa kehamilan anak yang akan menjadikan keturunannya yang sholih dan sholihah, in syaa Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

» Memperbanyak doa kepada Allah agar diberi kesehatan, kekuatan dan kemudahan serta keselamatan selama hamil hingga proses melahirkan kandungannya.

Namun, sebetulnya anjuran melakukan kebajikan seperti beribadah dan bersedekah bagi seorang yang hamil dan tidak hamil, boleh ditentukan dengan waktu atau tidak. Selama hal itu tidak diyakini sebagai bagian dari sunnah.

Hal itu setidaknya ditunjukkan dengan hadits tersebut.

1) Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري

“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).

Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau melakukan hal tersebut, bukan karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata :

وَفِيْ هَذَا الْحَدِيْثِ عَلىَ اخْتِلاَفِ طُرُقِهِ دَلاَلَةٌ عَلىَ جَوَازِ تَخْصِيْصِ بَعْضِ اْلأَيَّامِ بِبَعْضِ اْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلىَ ذَلِكَ

“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal shalih dan melakukannya secara rutin.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 3/69).
2) Hadits Sayidina Bilal radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الجنة؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ».
“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau shallallaahu 'alayhi wasallam berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”. (HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274)).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. Dengan demikian, berarti menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh. Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut:
وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ جَوَازُ اْلاِجْتِهَادِ فِيْ تَوْقِيْتِ الْعِبَادَةِ لأَنَّ بِلاَلاً تَوَصَّلَ إِلىَ مَا ذَكَرْنَا بِاْلاِسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 3/34).
3) Hadits Ziarah Tahunan
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عَلىَ رَأْسِ كُلِّ حَوْلٍ فَيَقُوْلُ:"اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ"، وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ. (رواه ابن جرير في تفسيره).
“Muhammad bin Ibrahim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi makam para syuhada’ setiap tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera semoga buat kalian sebab kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, Juz 4/Hal. 453).
Hadits di atas juga disebutkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hal. 185, dan ditentukan bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap tahun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syuhada peperangan Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil, tentang tradisi haul kematian setiap tahun.
4) Atsar Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ كَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُوْرُ قَبْرَ حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ. (رواه عبد الرزاق في المصنف).
“Muhammad bin Ali berkata: “Fathimah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam Hamzah setiap hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [6713])
عَنِ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ : أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَزُوْرُ قَبْرَ عَمِّهَا حَمْزَةَ كُلَّ جُمْعَةٍ فَتُصَلِّي وَتَبْكِيْ عِنْدَهُ رواه الحاكم والبيهقي قال الحاكم هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات.
“Al-Husain bin Ali berkata: “Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam pamannya, Hamzah setiap hari Jum’at, lalu berdoa dan menangis di sampingnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [7000]. Al-Hakim berkata: “Semua perawi hadits tersebut dipercaya”.)
Dan terlebih, tidak ada perkara perkara syar'i yang dilanggar dalam acara syukuran ini. Itu berarti, amal baik ini sungguh keterlaluan jika dilarang, dengan alasan tidak jelas, yaitu : Tidak dikerjakan Nabi. Apakah saat Nabi tidak membukukan Qur'an, lantas kita mengharamkan pembukuan Qur'an? Wallaahul musta'aan.
🍃 Share..
lisanulama.blogspot.com

Seputar Ziarah & Baca Qur'an di Kuburan

Soal Jawab Grup Telegram Ngaji FIQH #130

Ustad Rifaldi.. Bagaimana hukum ziarah kubur bagi perempuan?terus adab adabnya bagaimana ya?syukron

Jawab :

Dalil kesunnahan ziarah kubur adalah riwayat dari Buraidah Al Aslami radhiyallaahu 'anhu yang berkata, bahwasanya Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ فَزُوْرُهَا

"(Dahulu) aku melarang kalian untuk ziarah kubur, namun sekarang berziarahlah". (HR. Muslim No. 977)

Dalam riwayat Tirmidzi ditambahi lafadz,

فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَة

"..karena hal itu mengingatkan akan akhirat". (HR. Tirmidzi No. 1054; hasan shahih)

Bagi laki laki ziarah Kubur hukumnya mustahab(sunnah), namun bagi perempuan hukumnya diperselisihkan.
Sebagian ulama menganggap perempuan tetap disunnahkan untuk berziarah kubur, diantaranya adalah Ibn Hazm. (Al Muhalla bil Atsar, 3/388)
Mereka menyandarkan pendapat mereka pada keumuman dalil dalam anjuran berziarah kubur.
Sebagiannya lagi melarang perempuan untuk ziarah kubur, bahkan mengkategorikannya sebagai al kabaa-ir(dosa besar). (Mawsu'ah Al Fiqh Al Islamiy, 2/793-794)
Mereka berdalil dengan hadits : Dari Abu Hurairah ra. ia berkata,
لَعَنَ رَسُوْلُ الله زَوَّارَاتِ النِّسَاء
"Rasulullaah melaknat para perempuan peziarah" (HR. Tirmidzi No. 1056, hadits hasan)
Sedangkan madzhab jumhur(mayoritas ulama) menganggap ziarah kubur bagi perempuan adalah makruh. (Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 24/88)
Komentar Sayyid Sabiq :
"Madzhab Malik, Sebagian pengikut madzhab Hanafi, dan salah satu riwayat Imam Ahmad serta banyak ulama membolehkan perempuan untuk berziarah, berdasarkan hadits 'Aisyah yang bertanya pada Nabi : "Bagaimana yang harus ku ucapkan untuk mereka?"(ahli kubur, saat menziarahi mereka). (Fiqhus Sunnah, 1/566)
Dan di riwayat tersebut Nabi mengajarkan salam pada 'Aisyah saat masuk pekuburan. Dan ini menjadi dalil bolehnya perempuan untuk berziarah, karena Nabi tidak melarang 'Aisyah.
Imam Al Qurthubi berkata :
"Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi mereka(para perempuan) yang banyak berziarah, berdasarkan bentuk kalimatnya yang mubalaghah(bentuk kalimat yang menunjukkan 'sangat/sering'). Dan sebab hal itu bisa jadi karena akan melalaikan hak suami, serta tabarruj/dandan menor". (Naylul Awthar, 1/530)
Karena itu, perempuan boleh berziarah kubur meski lebih baik tidak.
Adapun jika yang diziarahi adalah kubur Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, atau kubur para Nabi dan orang shalih; maka hal tersebut disunnahkan bagi perempuan dengan syarat tidak bertabarruj/dandan menor, tidak ikhtilat/campur baur dengan laki laki dan juga tidak meninggikan suara sehingga menimbulkan fitnah. (Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 2/1570)
Dan adab - adab ziarah, adalah sebagai berikut.
🍂 Mengucapkan salam saat memasuki pekuburan. Di antara doanya ialah :
السّلام على أهل الديار من المؤمنين و المسلمين، و إنّا إن شاء الله بكم للاحقون، أسأل الله لنا و لكم العافية
"Assalaamu 'ala ahliddiyar minal mu'miniin wal muslimiin, wa inna in sya Allaah bikum la laahiquun. As'alullaaha lana wa lakumul 'aafiyah". (HR. Muslim No. 975)
Yang berarti : "Keselamatan atas penghuni kubur dari kalangan mukmin dan muslim, dan kami sungguh akan segera mengikuti. Aku memohon kepada Allaah keselamatan bagi kami dan kalian".
🍂 Tidak duduk dan menginjak kubur, serta tidak tidur dan buang hajat. Berdasarkan hadits :
لا تجلسوا على القبور
"Janganlah kalian duduk di atas kubur.." (HR. Muslim)
Walaupun sebagian ulama membolehkan, jika duduk tersebut adalah dalam rangka mendoakan mayyit. Dan bukan duduk persis di atas kubur. Adapun duduk duduk biasa, maka terlarang. (Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 2/1555)
🍂 Boleh menabur bunga dan menyiram air, dengan dalil perbuatan Nabi meletakkan pelepah kurma di salah satu kubur.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu bahwasanya beliau berkata :
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا
فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
“ Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam melewati dua kuburan, beliau bersabda :“ Sesungguhnya kedua penghuni kuburan ini sedang diadzab, mereka berdua diadzab karena dosa besar. Adapun salah satunya dahulu kalau buang air kecil tidak ditutup ( atau tidak bersuci ). Adapun yang lainnya, dahulu sering berjalan sambil menyebar fitnah. Kemudian beliau mengambil pelepah kurma yang masih basah, dan dibelah menjadi dua, masing-masing ditanam pada kedua kuburan tersebut, para sahabat pun bertanya : ”Wahai Rasulullah kenapa anda melakukan ini?” Beliau menjawab :“Mudah-mudahan ini bisa meringankan adzab keduanya selama belum kering.” (HR. Al-Bukhari No. 215 )
Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata :
يسن وضع جريدة خضراء للاتباع و سنده صحيح و لأنه يخفف عنه ببركة تسبيحها اذ هو اكمل من تسبيح اليابسة لما تلك من نوع حياة و قيس بها ما اعتيد من طرح الريحان و نحوه
"Disunahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau dalam rangka mengikuti sunah, dan sanadnya shahih, dan hal itu bisa meringankan si ahli kubur melalui keberkahan tasbih pelepah kurma tersebut. Lebih sempurna lagi tasbih dari pelepah yang masih basah karena itu termasuk jenis tanaman hidup, dan diqiyaskan dengan hal itu adalah menaburkan kembang harum dan semisalnya". (Tuhfatul Muhtaj, 3/198)
🍂 Boleh membacakan Qur'an di sisi Kuburan
Dalilnya : Dari 'Abdullaah Ibn Mas'ud radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : (إذا مات أحدكم فلا تحبسوه وأسرعوا به إلى قبره وليقرأ عند رأسه بفاتحة الكتاب وعند رجليه بخاتمة البقرة في قبره
Saya mendengar Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,
"Apabila salah seorang diantara kalian wafat, maka janganlah kalian menahannya. Segerakanlah ia ke kuburnya, bacakanlah di sisi kepalanya Al-Fatihah dan di sisi kedua kakinya akhir surat Al-Baqarah di kuburnya." (HR. Thabrani No. 13613. Imam Ibn Hajar Al Asqalani menilai sanad hadits ini hasan[Al Fath, 3/184])
Imam Nawawi juga berpendapat bahwa bolehnya membaca Qur'an di sisi kubur, berdasarkan hadits pelepah kurma di point sebelumnya.
"Imam Syafi'I dan para ulama Madzhab Syafi'I berkata, "Dianjurkan membaca sebagian AlQur'an di sisi kubur. Mereka berkata, jika mereka mampu mengkhatamkan AlQur'an secara keseluruhan, maka itu baik". (Al Adzkaar, Hal. 163)
Karena banyak yang malas dan kurangnya ilmu, akhirnya banyak orang yang enggan mengerjakan ini. Padahal ini dianjurkan berdasarkan hadits shahih.
🍂Tidak boleh meminta ke Kuburan dan Menyembah Kubur. Karena perbuatan ini jelas jelas merupakan kesyirikan dan bisa menjatuhkan seseorang pada kekafiran.
In Sya Allaah akan kita bahas kembali panjang lebar.
Wallaahu a'lam.
🍃 Share...
Ngaji FIQH

Hukum Demonstrasi

Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH #128

Bagaimana hukumnya demo, ust?

Jawab :

Demonstrasi ataupun unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menampakkan aspirasi ataupun pendapat masyarakat (ta‘bîr ar-ra’yi) secara berkelompok. Secara umum, aktivitas menampakkan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi) di dalam Islam adalah perkara yang dibolehkan (mubah). Hukumnya sama seperti kita mengungkapkan pandangan atau pendapat tentang suatu perkara. Hanya saja, hal ini dilakukan oleh sekelompok orang.

Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Muzhâharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok masyarakat di tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang sudah menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran dalam aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik individu.

2. Masîrah (unjuk rasa), hampir sama dengan demonstrasi, yaitu aksi sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut sesuatu. Akan tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran atas barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).

Dengan demikian, muzhâharah (demonstrasi) tidak diperbolehkan (diharamkan) oleh Islam. Alasannya, di dalamnya disertai beberapa aktivitas yang diharamkan oleh syariat Islam, seperti: mengganggu ketertiban umum; merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas umum maupun barang-barang milik individu masyarakat. Tidak jarang pula, demonstrasi mengakibatkan perkelahian, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Pengharamannya di dasarkan pada fakta bahwa di dalam demonstrasi terdapat sejumlah tindakan yang diharamkan oleh syariat Islam.

Meskipun demikian, ‘demonstrasi’ yang dilakukan dengan tertib; memperhatikan syariat Islam, termasuk menyangkut pendapat/aspirasi yang disampaikan; tanpa kekerasan; tidak mengganggu ketertiban umum dan hak-hak masyarakat; tidak membakar, merusak, dan menghancurkan barang-barang milik umum, negara, maupun milik individu adalah diperbolehkan. Inilah yang disebut dengan masîrah (unjuk rasa).

Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara (uslûb) di antara berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi). Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode (tharîqah)—menurut Islam—dalam melakukan proses perubahan di masyarakat. Apabila kondisinya memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) dapat dilakukan. Sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.

Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam tidak pernah menjadikan dan menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan aktivitas masîrah satu kali di kota Makkah. Beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara (uslûb) yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.

Pandangan Islam yang menjadikan masîrah (unjuk rasa) sebagai uslûb mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis. Mereka menganggap muzhâharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode baku (tharîqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka, demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan mereka lakukan; termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik individu.

Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau Komunis telah menjadikan muzhâharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri khas masyarakat mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi, mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan milik umum maupun milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang mereka angan-angankan.

Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhâharah) seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat Islam bahkan menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat rapat.

Pelanggaran terhadap tiga perkara itu digolongkan ke dalam hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan sanksinya hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Di samping itu, kita, kaum Muslim, tidak mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’ (al-ghâyah lâ tubarriru al-washîlah), sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan Kapitalis. Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa Muslim wajib terikat dengan syariat Islam; termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. Tidak pantas seorang Muslim mengaku beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara dalam mengungkapkan aspirasi/pendapat dan melakukan proses perubahan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam, mereka lakukan dengan menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram, dan membuang tuntunan syariat Islam. Allah Ta'ala berfirman :

]وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

"Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka". (QS al-Ahzab [33]: 36)

BERIKUT DALIL DALAM Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah tentang masyirah.

1. Al Qur’an

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)( QS Al-Anfaal 60).

2. Hadits Rasul shallallaahu 'alayhi wasallam

Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang haq/benar terhadap penguasa yang zhalim (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi)

Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).

3. Sirah Rasul saw (Sirah juga sunnah)

Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan unjuk rasa atau demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.

Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba’) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu:” Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)”.

4. Kaidah Fiqhiyah

Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.

Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Dengan demikian kami cenderung mengatakan bahwa demonstrasi sebagai sebuah sarana harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad demi meneggakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Memberantas kezhaliman dan kebatilan. Dan umat Islam harus mendukung setiap upaya kebaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai Islam demi kejayaan Islam dan kemashlahatan umat.
Wallahu a`lam Bish-shawab.

Disarikan dari soal-jawab dan tulisan Prof. Abdul Hayy al-Farmawi (Profesor Tafsir Universitas al-Azhar)
 Share...
lisanulama.blogspot.com

Larangan Mencabut dan Menyemir Uban

🍃 Soal Jawab Grup Telegram Ngaji FIQH #78 🍃
Ustadz Rivaldy Abu Abdillah.. Benarkah mencabut dan menyemir uban itu terlarang?
Jawab :
Larangan itu terdapat dalam beberapa hadits. Diantaranya :
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نتف الشيب، وقال ((هو نور المؤمن)).
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam melarang mencabut uban,” dan ia berkata : “Itu adalah cahaya bagi seorang mukmin.” (HR. Ibnu Majah No. 3721)
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata :
"أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نتف الشيب وقال إنه نور المسلم". هذا حديث حسن وقد رواه عبد الرحمن بن الحارث وغير واحد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mencabut uban, dan bersabda : bahwa itu adalah cahaya bagi seorang muslim.” (HR. At Tirmidzi No. 2975, ia berkata : Hadits ini hasan)
Akan tetapi, ada juga beberapa riwayat yang malah menunjukkan bahwa mencabut uban itu hanya makruh semata, bukan haram.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
أن النبي الله صلى الله عليه وسلم كان يكره الصفرة يعني الخلوق وتغيير الشيب يعني نتف الشيب وجر الإزار والتختم بالذهب…
"Bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam memakruhkan shafrah, yakni wangi-wangian, merubah uban yakni mencabutnya, menjulurkan kain, dan memakai cincin emas …” (HR. Abu Dawud No. 4222, An Nasa’i No. 5088, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 15464)
Namun yang mesti diperhatikan, hadits ini berstatus munkar dan lafadznya mengandung kecacatan. Sebab, para ulama telah bersepakat bahwa penggunaan cincin emas bagi laki laki bukan sekedar makruh, akan tetapi haram.
Ada riwayat lain yang dijadikan alasan kemakruhannya, Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu mengatakan:
يكره أن ينتف الرجل الشعرة البيضاء من رأسه ولحيته.
“Dimakruhkan bagi seorang laki-laki mencabut rambut kepalanya yang memutih dan juga janggutnya.” (HR. Muslim No. 2341, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14593)
Apa yang dikatakan Anas bin Malik ini menjadi bayan/penjelas, sekaligus dalil yang kuat makruhnya mencabut uban baik di kepala atau di janggut. Dan, ini menjadi pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki bahwa mencabut uban adalah makruh, bukan haram. Inilah pandangan yang lebih kuat.
Imam An Nawawi berpendapat :
“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) dan sahabat-sahabat Malik (Malikiyah) mengatakan: dimakruhkan, dan tidak diharamkan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/59)
Kemakruhan mencabut uban ini bukan hanya bagi rambut uban di kepala, tapi juga uban pada janggut, kepala, kumis, alis, dan pipi; baik untuk laki-laki maupun wanita. (Syaikh Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 4/227)
Karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa larangan dalam hadits tersebut berfaidah makruh, sebagaimana langsung dikatakan oleh salah seorang Sahabat Nabi, dan sekaligus pelayan bagi beliau, yakni Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Juga karena larangan tersebut tidak disertai dalil lain yang menunjukkan keharamannya secara tegas. Itu berarti, jika mencabut uban maka tidak mengapa. Namun jika dibiarkan maka ia dapat pahala.
Jika mencabut uban dihukumi makruh, lantas bagaimana hukum menyemir uban tersebut(terutama dengan warna hitam)?
Dalam fiqh Islam, al khidhob(penyemiran) dengan warna hitam diperselisihkan hukumnya. Adapun dengan warna lain maka mutlak boleh, selama tidak menyelisihi 'urf di masyarakat.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : Abu Quhafah, ayahnya Abu Bakar, datang saat penaklukan Makkah. Rambut dan jenggot beliau telah memutih. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya :
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَبُوا السَّوَادَ.
“Ubahlah ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam”. (HR. Muslim No. 2102)
Al Imam An Nawawi berkomentar mengenai hadits ini :
“Dan madzhab kami(madzhab Syafi’I) menganjurkan menyemir uban bagi laki laki ataupun perempuan dengan warna kuning atau merah. Dan haram menyemir dengan warna hitam. Dikatakan makruh, (maksudnya ialah) makruh tanzih. Dan yang terpilih ialah makruh tahrim(haram) berdasarkan hadits ini. Inilah pendapat kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/80)
Sebagian ahli ilmu membolehkan penyemiran dengan warna hitam ini(meski tetap dianggap makruh); sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibn Hajar Al Asqolani. Beliau berkata :
وأن من العلماء من رخص فيه في الجهاد ومنهم من رخص فيه مطلقا وأن الأولى كراهته، وجنح النووي إلى أنه كراهة تحريم، وقد رخص فيه طائفة من السلف منهم سعد بن أبي وقاص وعقبة بن عامر والحسن والحسين وجرير وغير واحد
”Sebagian ulama’ ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh. Bahkan An-Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat kepada haram. Sebagian ulama’ salaf memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) misalnya Sa’ad ibn Abi Waqqash, ‘Uqbah bin ‘Aamir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya..” (Fathul Baari, 10/354-355)
Dan yang paling hati hati adalah pendapat yang membolehkan menyemir rambut dengan warna apapun, namun tidak berwarna hitam. Bukan berarti haram, akan tetapi sebatas makruh(tidak disukai). Ini berlaku baik bagi laki laki maupun perempuan. Hal ini , dikarenakan tidak adanya qarinah(indikasi) yang tegas akan keharaman menyemir rambut dengan warna hitam; juga adanya bukti keterangan sebagian ulama salaf seperti ‘Utsman, Al Hasan dan Husayn, ‘Uqbah Ibn Amir, serta Ibn Sirin dan yang lainnya; menyemir rambut mereka dengan warna hitam. Perbuatan mereka menunjukkan bahwa pemahaman akan hadits dari Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam soal semir dengan warna hitam itu sebatas makruh. (Al Fiqh Al Islamiy wa Adillatuhu, 4/2680).
Sekali lagi, yang utama adalah tidak disemir dengan warna hitam. Apalagi jika tidak ada kebutuhan. Wallaahu a’lam.
❄️ Grup Telegram Ngaji FIQH
🌸 Mari Sebarkan Ilmu..
lisanulama.blogspot.com

WAJIBKAH BERMADZHAB?(Bag. 1)


Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH #105

Banyak sekali pertanyaan semacam ini diajukan kepada kami.
Kami ingin mengulasnya dengan pertama kali menampilkan dialog antara Syaikh Ramadhan Al Buthi dengan sebagian kalangan Anti-Madzhab, yang dalam hal ini kemungkinan besar yang dimaksud ialah Syaikh Nashiruddin Al Albani -ulama asal Albania yang terkenal dengan ketekunannya di bidang hadits-.
Diskusi ini diambil dari kitab Syaikh Ramadhan Al Buthi yang berjudul "Al-La Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermadzhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam". Halaman 133, Cet. Daar Al-Faraabi tahun 1426 H.
Berikut adalah isi jalannya diskusi tersebut :
Al-Buthi : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Anti Madzhab(untuk selanjutnya disingkat AM) : Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Buthi : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?
AM : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?
Al-Buthi : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.
AM : Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !
Al-Buthi : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
AM : Ya benar !
Al-Buthi : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.
AM : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Muqallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Muqallid dan Mujtahid.
(AM menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan madzhab, menyaring pendapat imam madzhab lalu memutuskan pendapat para imam madzhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. Inilah yang dimaksud Al-Buthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi AM tidak menjawab peratnyaan Al-Buthi, apakah setiap orang Islam harus sedemikian itu)
Al-Buthi : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?
AM : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.
Al-Buthi : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
AM : Ya, hal itu hukumnya haram !
Al-Buthi : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?
AM : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Al-Buthi : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
AM : Qiro’at Imam Hafsh .
Al-Buthi : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qiro’at imam Hafsh ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?
AM : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafsh saja.
(Golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?Sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan?)
Al-Buthi : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafsh ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !
AM : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafsh !
Al-Buthi : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si muqallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para muqallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
AM : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Buthi : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?
AM : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Al-Buthi: Tetapi buku Syaikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebutkan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
AM : Mana…? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syaikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Al-Buthi: Apakah buktinya kalau Syaikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syaikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Dr Al-Buthi ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syaikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Al-Buthi melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syaikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.
AM : Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Al-Buthi : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Al-Buthi ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Al-Buthi itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).
Selanjutnya Al-Buthi mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orang pun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Khilafah Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah ke madzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
*Hanya Dua Kategori*
Al-Buthi : Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?
AM : Perbedaannya ialah dari segi bahasa,
(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar AM dapat menetapkan perbedaan makna bahasa dari dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemui apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).
Al-Buthi : Sayyidina Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).
AM : Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segi istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu istilah.
Al-Buthi : Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.
AM : Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlid.
Al-Buthi : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul dari Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?
AM : Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.
(Kata-kata AM itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi mencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).
*Talak Tiga, Contoh Kasus*
Al-Buthi : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dijatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampaikan fatwa Anda talah meneliti pendapat para Imam madzhab serta dalil-dalil mereka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwaimir Al-ljlani telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah. Setelah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, bila saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadits ini dan kedudukannya dalam masalah ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?
AM : Saya belum pernah melihat hadits ini.
Al-Buthi : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dalil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalil-dalilnya? Kalau begitu Anda telah meninggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban AM bertentangan dengan pernyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).
AM : Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.
Al-Buthi : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalil mereka?
AM : Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?
Al-Buthi : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan *"Saya tidak tahu tentang masalah ini"*, atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberikan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajiban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di pihak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.
AM : Saya telah menelaah pendapat keempat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Fiqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.
Al-Buthi : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang menyelisihi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?
AM : Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Buthi : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, lalu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab itu tidak dapat diterima?
AM : Tidak, cuma saya tidak mendapati nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.
Al-Buthi : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa padahal Allah Ta'aala tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tidak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimiyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?
AM : Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.
Al-Buthi : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua madzhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-dalil madzhab-madzhab tersebut?
AM : Ya, cukup.
*Seorang Muallaf, Sebuah Analog*
Al-Buthi : Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendidikan agama Islam, Lalu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jalla, yang artinya, _"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."_*(QS. Al-Baqarah[2]:115)*
Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana ditunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus menghadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyai dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatinya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan mengikuti panggilan hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus mengikuti pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?
AM : Cukup dengan mengikuti panggilan hatinya.
Al-Buthi : Meskipun dengan menghadap ke arah timur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?
AM : Ya, karena ia wajib mengikuti panggilan hatinya.
Al-Buthi : Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhami dirinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusia tanpa hak, apakah Allah akan memberikan syafa'at kepadanya lantaran panggilan hatinya itu?
(Terdiam sejenak, lalu AM berkata) : Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.
Al-Buthi : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadi hal seperti itu ataupun lebih aneh lagi.
Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena menganggap cukup dengan adanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggilan jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumber untuk mengeluarkan hukum).
Kenyataan ini jelas bertentangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahid, termasuk si muallaf tadi).
AM : Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?
Al-Buthi : la tidak memiliki cukup bahan untuk membahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?
AM : Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.
-Pandangan ini jelas menyimpan potensi yang membahayakan. Banyak pelaku kekerasan atas nama agama(pengeboman, dsb.) bersandarkan pemahaman "ijtihad Qur'an dan Sunnahnya" untuk membenarkan pendapat mereka.- Wallaahu a'lam. *(bersambung)*

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...