Sabtu, 23 Desember 2017

MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL DAN IKUT MERAYAKANNYA : SEBUAH MUSIBAH!
oleh : Al Faqir ilal Haq Muhammad Rivaldy Abdullah

Banyak pertanyaan masuk melalui whatsApp maupun Telegram mengenai hukum mengucapkan selamat natal(sekaligus) ikut merayakannya bagi seorang Muslim.

Sebetulnya telah banyak ulama dan para ustadz yang telah membahas hal ini dan kesemuanya sepakat bahwasanya ikut merayakan Natal bagi seorang Muslim adalah sebentuk kekufuran. Hukumnya haram secara mutlak; baik itu sekedar menghadiri saja, apalagi ikut masuk ke gereja dan melakukan
aktivitas ibadah seperti orang orang kafir itu lakukan di sana.

Allaah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur(kemaksiatan), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 72)

Imam Mutawalli As-Sya’rawi(ulama kharismatik Al Azhar Mesir), menafsirkan :

أي: لا يحضرون الباطل في أيّ لون من ألوانه قولاً أو فعلا ً أو إقراراً، وكل ما خالف الحق.

“(Maksud dari kalimat –orang orang yang tidak menyaksikan az-zuur-) yakni : Orang orang yang tidak menyaksikan kebathilan, dalam segala rupanya. Baik berupa ucapan atau tindakan atau ketetapan. (Dan juga tidak menghadiri) segala hal yang menyelisihi al-Haq”. (As-Sya’rawi, Kitab Tafsir As-Sya’rawi, Juz 17/pembahasan Surah Al Furqan)

Imam Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “Az-Zuur (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabi’ bin Anas, al-Qadhi Abu Ya’la dan ad-Dhahak.” (Ibn Taimiyyah, Kitab Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537)

Menyaksikan saja sudah terlarang, apalagi ikut menghadiri dan merayakannya.
Dan dari penjelasan Imam As-Sya’rawi di atas, tentu kita bisa menyimpulkan bahwa mengenakan atribut, pernak pernik serta pakaian hari raya agama lain adalah terlarang. Hal itu sama dengan persetujuan dengan kebathilan mereka.

Dalam hadits penuturan Anas :

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. Ahmad 3/178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

Ibnu Hajar lantas mengatakan, “Bisa disimpulkan dari hadits tersebut larangan merasa gembira saat hari raya orang musyrik dan larangan menyerupai orang musyrik ketika itu. Bahkan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi, seorang ulama mazhab Hanafi sampai berlebih-lebihan dalam masalah ini dengan mengatakan, ‘Siapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik pada hari itu karena mengagungkan hari tersebut maka dia telah kafir kepada Allah” (Ibn Hajar Al Asqalani, Kitab Fathul Bari, 2/ 442).

Imam As-Suyuthi As-Syafi’I berkata :

واعلم أنه لم يكن على عهد السلف السابقين من المسلمين من يشاركهم في شيء من ذلك. فالمؤمن حقاً هو السالك طريق السلف الصالحين المقتفي لآثار نبيه سيد المرسلين

”Dan ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf terdahulu dari kaum muslimin yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka, maka seorang mukmin yang benar (imannya) adalah seseorang yang menempuh jalan salafussholih yang mengikuti jejak sunnah Nabi-Nya, penghulu para Rasul (Muhammad shallallahu ’alayhi wa sallam-).” (As-Suyuthi, Kitab Haqiqat As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 125)

Adapun mengenai hukum mengucapkan selamat natal, semua ulama juga sepakat akan keharamannya. Kecuali segelintir ulama “zaman now” memasukkan perbuatan itu ke dalam perkara muammalah/urusan keduniaan (bukan akidah atau ibadah). Sehingga hukumnya –menurut mereka- adalah boleh boleh saja bagi seorang muslim mengucapkan selamat natal. Bahkan ada ulama Indonesia yang dengan seenaknya mengatakan, bahwa ucapan selamat Natal itu ada di dalam AlQur’an. Yakhrab baytuh!

Padahal Natal bukanlah hari kelahiran Yesus, sebagaimana dituturkan orang orang Kristen sendiri. Dalam Ensiklopedi Katolik, dengan judul : Christmas, akan ditemukan kalimat yang berbunyi sebagai berikut :

”Christmas was not among the earliest festivals of Church...the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to Christmas”.
“Natal bukanlah upacara Gereja yang pertama….melainkan ia diyakini berasal dari Mesir. Perayaan yang diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus” [selesai]. (Catholic Encyclopedia, Ed. 1911)

Karena itu sebetulnya ucapan selamat ini untuk siapa dan dalam rangka apa?!

Ulama ulama salaf dari empat madzhab pun –semoga Allaah senantiasa merahmati mereka yang senantiasa berada di jalan yang lurus- juga telah banyak memfatwakan haramnya mengucapkan selamat/ tahni’ah terkait dengan perayaan agama lain.

Dalam madzhab Syafi’I misalnya. Imam Al Khatib As Syarbini memfatwakan agar orang yang mengucapkan selamat kepada perayaan agama lain untuk di ta’zir/dihukum sebagai tindakan kriminal. (As- Syarbini, Kitab Mughni al-Muhtaj, 4/255)

Ibnu Hajar Al-Haitami As-Syafi’I berkata :

ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ ما يُوَافِقُ ما ذَكَرْتُهُ فقال وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى في أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لهم وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فيه وَأَكْثَرُ الناس اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وقد قال صلى اللَّهُ عليه وسلم من تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ منهم بَلْ قال ابن الْحَاجِّ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شيئا من مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا أُدْمًا وَلَا ثَوْبًا، وَلَا يُعَارُونَ شيئا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هو مُعَاوَنَةٌ لهم على كُفْرِهِمْ، وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنْعُ الْمُسْلِمِينَ من ذلك

"Kemudian aku melihat sebagian imam-imam kami dari kalangan mutakhirin (belakangan) telah menyebutkan apa yang sesuai dengan apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata : "Dan diantara bid'ah yang paling buruk adalah kaum muslimin menyepakati kaum nashrani dalam perayaan-perayaan mereka, yaitu dengan meniru-niru mereka dengan memakan makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, menerima hadiah dari mereka. Dan orang yang paling memberi perhatian akan hal ini adalah orang-orang Mesir. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka"
Bahkan Ibnul Haaj telah berkata, "Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual bagi seorang nashrani apapun juga yang berkaitan dengan kemaslahatan perayaan mereka, baik daging, sayur, maupun baju. Dan tidak boleh kaum muslimin meminjamkan sesuatupun juga kepada mereka meskipun hanya meminjamkan hewan tunggangan karena ini adalah bentuk membantu mereka dalam kekafiran mereka. Dan wajib bagi pemerintah untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut" (Al-Haitami, Kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 4/238)

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah –dari madzhab Hanbali- berkata :

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Kitab Ahkaam Ahlidz Dzimmah, 1/441)

Dalam kitab Al-Iqnaa' fi Fiqh al Imam Ahmad Ibn Hanbal, Imam Abu An-Naja Al Maqdisi berpendapat :

ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى وبيعه لهم فيه ومهاداتهم لعيدهم ويحرم بيعهم ما يعملونه كنيسة أو تمثالا ونحوه وكل ما فيه تخصيص كعيدهم وتمييز لهم وهو من التشبه بهم والتشبه بهم منهي عنه إجماعا وتجب عقوبة فاعله

"Dan haram menyaksikan perayaan yahudi dan kaum nasrani, dan haram menjual kepada mereka dalam perayaan tersebut serta haram memberi hadiah kepada mereka karena hari raya mereka. Haram menjual kepada mereka apa yang mereka gunakan (dalam acara mereka) untuk membuat gereja atau patung dan yang semisalnya (seperti untuk buat salib dll-pen). Dan haram seluruh perkara yang yang menunjukkan pengkhususan mereka seperti perayaan mereka, dan seluruh perkara yang menunjukkan pembedaan bagi mereka, dan ini termasuk bentuk tasyabbuh (meniru-niru) mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan/konsus) para ulama. Dan wajib memberi hukuman kepada orang yang melakukan hal ini" (Al Maqdisi, Kitab Al-Iqnaa', 2/49)

Dari madzhab Hanafi :

قَالَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - (وَالْإِعْطَاءُ بِاسْمِ النَّيْرُوزِ وَالْمِهْرَجَانِ لَا يَجُوزُ) أَيْ الْهَدَايَا بِاسْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ حَرَامٌ بَلْ كُفْرٌ وَقَالَ أَبُو حَفْصٍ الْكَبِيرُ - رَحِمَهُ اللَّهُ - لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَبَدَ اللَّهَ تَعَالَى خَمْسِينَ سَنَةً ثُمَّ جَاءَ يَوْمُ النَّيْرُوزِ وَأَهْدَى إلَى بَعْضِ الْمُشْرِكِينَ بَيْضَةً يُرِيدُ تَعْظِيمَ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ وَحَبَطَ عَمَلُهُ وَقَالَ صَاحِبُ الْجَامِعِ الْأَصْغَرِ إذَا أَهْدَى يَوْمَ النَّيْرُوزِ إلَى مُسْلِمٍ آخَرَ وَلَمْ يُرِدْ بِهِ تَعْظِيمَ الْيَوْمِ وَلَكِنْ عَلَى مَا اعْتَادَهُ بَعْضُ النَّاسِ لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ يَنْبَغِي لَهُ أَنْ لَا يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ خَاصَّةً وَيَفْعَلُهُ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ لِكَيْ لَا يَكُونَ تَشْبِيهًا بِأُولَئِكَ الْقَوْمِ، وَقَدْ قَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»

Beliau (Abul Barokaat An-Nasafi Al-Hanafi) berkata : "Dan memberikan hadiah dengan nama hari raya Nairus dan Mihrojaan tidak diperbolehkan". Yaitu memberikan hadiah-hadiah dengan nama kedua hari raya ini adalah haram bahkan kekufuran. Berkata Abu Hafsh Al-Kabiir rahimahullah : "Kalau seandainya seseorang menyembah Allah Ta'aalaa selama 50 tahun kemudian tiba hari perayaan Nairuuz dan ia memberi hadiah sebutir telur kepada sebagian kaum musyrikin, karena ia ingin mengagungkan hari tersebut maka ia telah kafir dan telah gugur amalannya". Penulis kitab Al-Jaami' As-Ashghor berkata : "Jika pada hari raya Nairuz ia memberikan hadiah kepada muslim yang lain, dan dia tidak ingin mengagungkan hari tersebut akan tetapi hanya mengikuti kebiasaan/tradisi sebagian masyarakat maka ia tidaklah kafir, akan tetapi hendaknya ia tidak melakukannya pada hari tersebut secara khusus, namun ia melakukannya sebelum atau sesudah hari tersebut agar tidak merupakan tasyabbuh dengan mereka. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda ((Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk dari mereka)). (Ibn Nujaim Al Mishri, Kitab Al-Bahr Ar-Raa’iq Syarh Kanzul Daqaa’iq, 8/555)

Dari madzhab Maliki, Imam Ibnul Haaj Al Maliki berfatwa :

وَبَقِيَ الْكَلَامُ عَلَى الْمَوَاسِمِ الَّتِي اعْتَادَهَا أَكْثَرُهُمْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهَا مَوَاسِمُ مُخْتَصَّةٌ بِأَهْلِ الْكِتَابِ فَتَشَبَّهَ بَعْضُ أَهْلِ الْوَقْتِ بِهِمْ فِيهَا وَشَارَكُوهُمْ فِي تَعْظِيمِهَا يَا لَيْتَ ذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي الْعَامَّةِ خُصُوصًا وَلَكِنَّك تَرَى بَعْضَ مَنْ يَنْتَسِبُ إلَى الْعِلْمِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ... بَلْ زَادَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُمْ يُهَادُونَ بَعْضَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِي مَوَاسِمِهِمْ وَيُرْسِلُونَ إلَيْهِمْ مَا يَحْتَاجُونَهُ لِمَوَاسِمِهِمْ فَيَسْتَعِينُونَ بِذَلِكَ عَلَى زِيَادَةِ كُفْرِهِمْ

Tersisa pembicaraan tentang musim-musim (hari-hari raya) yang biasa dilakukan oleh kebanyakan mereka padahal mereka mengetahui bahwasanya hari-hari raya tersebut adalah khusus hari raya ahul kitab. Maka sebagian orang zaman ini bertasyabbuh dengan mereka (ahlul kitab), menyertai mereka dalam mengagungkan hari-hari raya tersebut. Duhai seandainya tasyabbuh tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang muslim awam, akan tetapi engkau melihat sebagian orang yang berafiliasi kepada ilmu juga melakukan hal tersebut. Bahkan sebagian mereka lebih parah lagi hingga mereka memberikan hadiah kepada sebagian ahlul kitab pada hari-hari raya mereka, mengirimkan untuk mereka apa yang mereka butuhkan dalam perayaan mereka, sehingga dengan hal ini para ahlul kitab terbantukan untuk lebih terjerumus dalam kekafiran. (Ibnul Haaj, Kitab Al-Madkhal, 2/46-48)

Kesemua ulama itu dengan jelas dan tegas melarang mengucapkan selamat dan ikut berbahagia dengan perayaan agama lain. Apakah ulama ulama itu bodoh? Tentu tidak. Apakah ulama ulama itu ilmunya tidak bersanad? Tentu tidak.

Yang jelas, ulama ulama itu tidak berfatwa dengan harapan agar mereka dianggap toleran, lembut, dan bijak. Mereka tidak berfatwa UNTUK MENCARI MUKA DAN AGAR TIDAK DISEBUT EKSTREMIS/RADIKAL. Semoga Allaah menjaga mereka, yang telah berusaha menjaga Dien ini yang mulia.

Apakah orang orang yang memfatwakan bolehnya ucapan selamat, adalah orang orang yang cari muka dan ingin disebut arif bijaksana?Kami tidak mengatakan demikian.

Yang jelas, alasan orang orang itu membolehkan ucapan selamat natal karena hal ini bagian dari mujaamalah(basa basi) dan cara untuk merangkul mereka dengan Islam yang Toleran.
Kami ingin katakan bahwa mereka –orang orang kafir- tatkala mereka mati dengan kekafiran mereka, mereka akan dipanggang dalam neraka jahannam selamanya. Entah itu bisa jadi diantara mereka adalah saudara kita, teman kita, atau tetangga tetangga kita. Na’udzubillaahi min dzalik.

Sekarang kami bertanya : Tegakah kita membiarkan mereka kelak dipanggang di dalam Neraka Jahannam dan kekal didalamnya? Tegakah kita melihat mereka tersiksa –dengan siksaan yang amat dahsyat- di dalam neraka dan hal itu tiada berujung?! Tentu kita tidak boleh sedikitpun tega.

Bahkan, kalau lah boleh kami MEMAKSA MEREKA DENGAN PEDANG agar mereka masuk ke dalam Dien Islam, tentu akan kami lakukan. Mengingat nasib mereka yang menyedihkan kelak di akhirat. Tidakkah kita iba dengan nasib mereka kelak di Akhirat?!Kasihanilah mereka, wahai saudaraku seiman.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

”Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan pernah diterima (agama tersebut) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran [3]: 85)

Karena itulah, ucapan selamat dan dukungan atas perayaan hari raya agama lain adalah tindakan yang amat bodoh lagi jahat. Tindakan itu akan membuat orang orang kafir itu berpikir, bahwasanya apa yang mereka lakukan adalah perkara yang sah sah saja dan tidak akan membawa musibah. Padahal justeru sebaliknya. Apa yang mereka perbuat itu akan menjadi musibah bagi mereka dunia dan akhirat!

Khalifah Umar Ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berucap :

إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِم

“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (HR. Al-Baihaqi)

Khalifah Umar Ibnul Khattab bahkan melarang orang orang kafir dzimmi(yang berada dibawah pemerintahan Islam), untuk menampakkan syiar syiar hari raya mereka. Tidak boleh ada pernak pernik hari raya mereka di tengah tengah kaum Muslimin. (As-Suyuthi, Kitab Haqiqat As-Sunnah wal-Bid’ah, hal. 125)

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (٨٨)لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (٨٩)تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠)أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١)وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)

Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR(JELEK). Hampir-hampir langit pecah karena Ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menyerukan Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak, dan tidak layak bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (QS Maryam : 88-92).

Perhatikan lah urusan ini, saudaraku.. Demi Allaah ini bukan urusan yang sepele.Wallaahul musta’aan.
lisanulama.blogspot.com II www.facebook.com/MuhammadRivaldyAbdullah

Rabu, 20 Desember 2017

Jika Telinga Berdenging.
 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH


Ustad Rifaldi.. Benarkah kalau telinga berdenging kita dianjurkan shalawat?

-- Jawab --

Pendapat itu disandarkan pada sebuah hadits. Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :


Dari Abu Rafi’ radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda :
إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، وَلْيَقُلْ: ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Jika berdenging telinga salah seorang kalian maka ingatlah kepadaku dan bershalawatlah kepadaku, dan hendaknya dia berkata : DZAKARALLAHU MAN DZAKARANIY BIKHAIR – Allah akan mengingat siapa pun yang mengingatku dengan kebaikan.”

Hadits ini dikeluarkan oleh :
(1). Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 958, Al Awsath No. 9222, Ash Shaghir No. 1104. Beliau berkata dalam Al Awsath: “Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu Rafi’ kecuali dari isnad seperti ini, dan Ma’mar bin Muhammad menyendiri dalam meriwayatkannya.”
(2). Al ‘Uqaili dalam Adh Dhu’afa, 4/261, dia berkata: “Dia (Ma’mar bin Muhammad) haditsnya tidak bisa diikuti, dan dia tidak diketahui kecuali dengan isnad ini.”
(3). Ar Ruyani dalam Musnad-nya No. 718, Al Khara-ithiy dalam Makarimul Akhlaq No. 982
(4). Ibnus Sunniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 166
(5). Al Bazzar dalam Musnad-nya No. 3884, tanpa kalimat: “bershalawatlah kepadaku”
(6). Al Baihaqi dalam Ad Da’awat Al Kabir No. 490
(7). Yahya Asy Syajariy dalamTartib Al Amaliy No. 630


Namun, status hadits ini mesti dikaji terlebih dahulu. Tentang hadits di atas, Al Hafizh As Sakhawi mengatakan :

حَدِيث: إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي، وَلْيُصَلِّ عَلَيَّ، وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّه بِخَيْرٍ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ، الطبراني وابن السني في عمل اليوم والليلة، والخرائطي في المكارم، وآخرون عن أبي رافع مرفوعا بهذا، وسنده ضعيف، بل قال العقيلي: إنه ليس له أصل

"Hadits “Jika berdenging telinga salah seorang kalian maka ingatlah kepadaku dan bershalawatlah kepadaku, dan hendaknya dia berkata: DZAKARALLAHU MAN DZAKARANIY BIKHAIR – Allah akan mengingat siapa pun yang mengingatku dengan kebaikan.” Diriwayatkan oleh Ath Thabarani, Ibnus Sunniy dlm amalul yaum wal lailah, Al Kharaitiy dalam Al Makarim, dan lainnya, dari Abu Rafi', secara marfu', dan sanadnya DHA'IF, bahkan Al 'Uqaili mengatakan: LAISA LAHU ASHL-tidak ada dasarnya." *(Al Maqashid Al Hasanah, 1/89)*

Imam Ibnul Qayyim juga mengatakan :

وَكُلُّ حَدِيثٍ فِي طَنِينِ الأُذُنِ فَهُوَ كِذْبٌ

"Semua hadits yang menyebutkan tentang telinga berdenging adalah DUSTA." *(Al Manar Al Munif, no. 119)*

Komentar Imam Asy Syaukani :

رَوَاهُ الْعُقَيْلِيُّ عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَرْفُوعًا. قِيلَ: هُوَ موضوع

Diriwayatkan oleh Al ‘Uqaili dari Abu Rafi’ secara marfu’. Dikatakan bahwa hadits ini palsu. *(Al Fawaid Al Majmuah, Hal. 224. Pentahqiq kitab ini: Syaikh Abdurraman bin Yahya Al Mua’limi Al Yamani mengatakan: “Seperti itulah hadits ini.”)*


Akan tetapi ada pendapat lain mengenai status hadits ini. Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini mengomentari ucapan Imam Ath-Thabrani:

“Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Abu Rafi’ kecuali dari isnad seperti ini, dan Ma’mar bin Muhammad menyendiri dalam meriwayatkannya.”

Juga Imam Al ‘Uqaili yang berkata: “Dia (Ma’mar bin Muhammad) haditsnya tidak bisa diikuti, dan dia tidak diketahui kecuali dengan isnad ini.”

Abu Ishaq mengatakan: “Semoga Allah meridhai kalian berdua!” Lalu Beliau menyebutkan beberapa sanad lain yang menjadi mutaba’ah (penguat) bagi sanad Ma’mar bin Muhammad, yaitu:

- Habban bin ‘Ali, berkata kepada kami: Muhammad bin ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’, dengan sanad yang sama. (Ibnus Sunni, Al Yaum wal lailah No. 166, Ibnu ‘Adi, Al Kamil, 2/ 2126-2152)

- Mandal bin ‘Ali (Al Khat-ithiy, Makarimul Akhlaq No. 1022). *(Lihat, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Tanbih Al Hajid, 1/220-221)*


Al Hafizh Nuruddin Al Haitsami mengatakan: "Isnadnya Ath Thabarani dalam Al Kabir adalah hasan." *(Majma' Az Zawaid, 10/138)*

Oleh karena itu Az Zabidiy berkata:
"Tetapi Al Haitsami mengatakan isnad Thabrani dalam Al Kabir adalah hasan, ini membatalkan tudingan orang-orang yang mengatakan dha'if terlebih lagi yang menyatakan palsu, seperti Ibnul Jauzi dan Al 'Uqaili. Sedangkan Al Munawi dalam syarahnya terhadap Jaami' Ash Shaghir menyebutkan bahwa ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya, dengan lafaz seperti itu dari Abu Rafi'. Dan, Imam Ibnu Khuzaimah adalah seorang yang berkomitmen dalam kitabnya utk mencantumkan yang shahih, maka ketahuilah!!" *(Takhrij Ahadits Ihya 'Ulumuddin, 2/831)*

Kesimpulannya :

Para ulama tidak sepakat atas kedhaifan hadits ini walau mayoritas meragukan keshahihannya bahkan menganggapnya palsu.

Hal ini tentu saja berimplikasi pada kehujjahannya, bagi yang menganggapnya dhaif dan palsu hadits ini tidak layak diamalkan. Bagi yang menilainya shahih dan hasan, tentu mereka tidak berhalangan mengamalkannya.

Sekalipun dhaif, akhirnya tidak sedikit yang tetap menjadikannya sebagai hujjah untuk fadhailul a’mal. Karena itu, jika telinga berdenging bershalawatlah. Tidak ada salahnya.

Ingat, perkara ini tidak boleh menjadi sebab keributan sesama muslim. Wallahu a'lam || lisanulama.blogspot.com

Sabtu, 16 Desember 2017

Sistem Baku Khilafah Islamiyyah
 Grup WA Ngaji Fiqh

Benarkah sistem pemerintahan Khilafah Islam itu tidak ada bentuk bakunya?

--- Jawab ---

Perhatikan point - point berikut :

1- Istilah "Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah" itu berasal dari hadits Nabi.

تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة ..

"Ada Masa Kenabian di tengah tengah kalian, yang berlangsung sesuai dengan yang Allaah kehendaki. Kemudian Allaah angkat masa kenabian itu, jika Allaah berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian muncullah masa Khilafah 'ala Minhaj An-Nubuwwah..."
[Musnad Ahmad, 30/355; Hadits Shahih].

Makna, "Ala Minhaj An Nubuwwah" itu berarti Khilafah yang dijalankan para sahabat adalah copy paste dari Nabi, bukan bikinan sahabat. Sahabat tinggal melanjutkan negara dan sistem yang dibangun Nabi.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Mahmud Sa'id Mamduh (Muhaddits asal Mesir).

2- Nabi menegakkan hukum Allaah dan menjalankan negara, sebagai kepala Negara Islam pertama, dengan ibukotanya Madinah selama 10 tahun. Selain ada kepala negara, ada wazir [pembantu kepala negara], yaitu Abu Bakar dan 'Umar.

Dari Abu Sa'id Al Khudry, ia berkata; Bahwasanya Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

..و إنّ وزيري من أهل الأرض أبو بكر وعمر.

".. Sesungguhnya kedua wazirku dari penduduk bumi ialah Abu Bakar dan 'Umar."
[At-Tarikh Al-Kabir lil Bukhari, 1/865].

3- Karena Negara Islam zaman Nabi meliputi Jazirah Arab [Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar], maka Nabi pun mengangkat sejumlah wali [kepala daerah]. Mu'adz di Janad, Ziyad di Yaman, Abu Musa di Zabid dan 'Aden. Setelah itu Umar -sebagai Khalifah- pun juga menunjuk Wali. Di antaranya Amr Ibn Al Ash sebagai Wali di Mesir.

4- Nabi juga mempunyai pasukan perang yang terlatih. Nabi terkadang memimpin sendiri peperangan [27 kali]. Di zamannya, tidak kurang 79 kali perang besar [ma'rakah], dan perang kecil [sariyyah]. Semuanya ada Panglima Perangnya.

5- Mengenai Majelis Syura [Majelis Umat], di zaman Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam juga sudah ada. Mereka terdiri dari Abu Bakar, 'Umar, Hamzah, 'Ali, Salman Al-farisi, Hudzaifah al-Yaman.

6- Urusan administrasi [pencatatan], pada zaman Nabi sudah ada para pencatat urusan: (1) Wahyu, seperti Zaid bin Tsabit; (2) Penjaga rahasia Nabi [Shahib Sirr an-Nabi], yaitu 'Abdullah bin Mas'ud, dll.

7- Negara Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, berbentuk Negara Kesatuan, karena wilayahnya satu, hukum yang diterapkan juga satu, yaitu hukum Islam, diterapkan di seluruh wilayah.

Dari Abu Sa'id Al Khudry, ia berkata; Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam bersabda,

إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما

"Jika dibai'at dua khalifah, bunuhlah yang terakhir" [HR. Muslim No. 61]

8- Negara Nabi, dan Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah, juga bukan sistem Monarki Absolut(kerajaan) maupun Parlementer. Bukan pula Repulik, Presidensil maupun Parlementer. Nabi dan para Khulafa' Rasyidin bukan Raja, Perdana Menteri, atau Presiden. Tapi, kepala Negara Islam yang khas.

9- Jika Nabi mengajarkan shalat lalu bersabda, "Shallu kama raitumuni ushalli", setelah itu para sahabat mengcopy paste tatacara shalat Nabi. Tatacara itu diajarkan semasa Nabi hidup, begitu pula dlm menjalankan negara. Tidak kurang selama 10 tahun sejak di Madinah hingga wafat.

10- Ketika Nabi wafat, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah untuk memilih siapa yang akan menggantikan Nabi dalam mengurus urusan negara dan umatnya. Mereka berselisih soal siapa yang lebih pantas, bukan wajib atau tidak adanya Khalifah?

11- Setelah Abu Bakar terpilih secara aklamasi, maka Abu Bakar pun dibai'at menjadi Khalifah, pengganti Nabi dalam mengurus negara. Beliau dibai'at di Masjid Nabawi. Bai'at ini juga menjadi metode baku dalam pengangkatan Khalifah, meski teknisnya bisa berbeda. Ini teknis.

12- Sebelum Abu Bakar wafat, beliau melakukan survei kepada penduduk Madinah, siapakah yang layak menggantikan dirinya. Muncullah nama 'Umar dan 'Ali. Maka, Abu Bakar pun menunjuk 'Umar. Ini teknis, bukan metode. Metodenya tetap bai'at. 'Umar pun dibai'at menjadi Khalifah.

13- Menjelang wafat, 'Umar menunjuk formatur untuk memilih Khalifah yang akan menggantikannya. Ini juga bukan metode, tetapi teknis. Metodenya tetap, bai'at. Karena itu, setelah 'Utsman terpilih melalui formatur, beliau pun dibai'at menjadi Khalifah.

14- Bahkan, ketika Sayyidina 'Ali dan Hasan bin Ali menjadi Khalifah, keduanya juga dibai'at. Sampai akhirnya, masing-masing menjadi Khalifah. Begitulah, sistem ini dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat, diwariskan turun temurun. Jadi, Khilafah ini bukan buatan ulama'.

15- Bukti bahwa negara ini mempunyai bentuk baku, sistemnya jelas, adalah keteraturan dan capaian yang dihasilkan selama 10 tahun zaman Nabi, dan 30 tahun zaman Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah. Kalau tidak ada bentuk baku dan sistemnya, pasti amburadul. Sekarang saja amburadul.

16- Bukti, bahwa negara ini bukan buatan ulama', kitab yang mengulas tentang negara, yang paling tua adalah kitab al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis oleh Ibn Qutaibah [w 276 H]. Ditulis abad ke-3 H. Artinya, 241 tahun setelah Khilafah 'ala Minhaj Nubuwwah.

17- Bahkan, kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, baru ditulis oleh Imam al-Mawardi [w. 450 H], oleh al-Farra' [w. 458 H], pada abad ke-5 H. Itu pun ditulis di era kemunduran Khilafah 'Abbasiyyah, agar umat paham tatakelola negara menurut syariah. Karena umat sudah agak samar mengenai sistem pemerintahan Khilafah.

18- Kitab-kitab yang ditulis para ulama' di zaman itu, bersifat komplementer, karena sistemnya sudah berjalan. Kitab-kitab ini ditulis untuk meluruskan kembali kebengkokan dan kesalahan dalam menerapkan Islam. Karena itu, apa yang ditulis oleh Imam al-Mawardi bukan rekaan beliau.

Karena itu, siapapun yang menyatakan, bahwa Khilafah tidak mempunyai bentuk baku, jelas menyalahi nash, baik al-Qur'an, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Juga menyalahi logika, sebagaimana yang diuraikan di atas. Wallahu a'lam. (KH. Hafidz Abdurrahman, dengan sedikit perubahan).

Ngaji FIQH
📝 Maulid Nabi - Moment mengenang Perjuangan Nabi (2)
🌸💎 Grup WhatsApp Ngaji FIQH 💎🌸

Telah tiba masa dimana sebagian muslim lebih peduli dengan kegiatan/agenda kelompoknya sendiri, jamaahnya sendiri, kajiannya sendiri, syaikhnya sendiri, gurunya sendiri, dan individu mereka masing masing; akan tetapi dengan kegiatan yang berkenaan pribadi Nabi malah enggan. Subhanallaah..

Telah hilang pengagungan mereka kepada Nabi, bahkan mengatakan bahwa hal itu sesuatu yang berlebihan. Lain cerita jika acara itu menyangkut organisasi/jamaah mereka, maka tidak dianggap haram. Padahal telah jelas bagaimana kecintaan sahabat terhadap Nabi, yang ditunjukkan dengan berbagai ekspresi. Apakah ekspresi-ekspresi tersebut disalahkan Nabi? Akan kita paparkan nanti bagaimana ekspresi-ekspresi kecintaan para sahabat terhadap Nabi.

Bahkan jika kita menelisik lebih dalam kitab-kitab para ulama, kita temukan bahwasanya para Ulama memiliki sikap yang inshaf dalam menilai peringatan Maulid Nabi. Dan hal tersebut ditunjukkan dengan keterangan-keterangan berikut.

1. Syaikhul Islam Imam Ibn Hajar Al Asqalani. Di ceritakan :

أَنَّهُ سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ حَافِظُ الْعَصْرِ أَبُو الْفَضْلِ أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ فَأَجَابَ بِمَا نَصُّهُ أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَمَنْ لَا فَلَا

Bahwasanya Syaikhul Islam Hafizh Al 'Ashr(Ulama Hadits Zaman ini) Abul Fadhl Ahmad bin Hajar ditanya tentang hukum Maulid, beliau menjawab: "Pada dasarnya maulid adalah bid'ah dan tidaklah dinukil satu pun dari salafush shalih yang ada pada tiga zaman, namun demikian pada acara tersebut terkandung di dalamnya kebaikan-kebaikan dan juga sebaliknya. maka, siapa saja yang pada acara itu hanya melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi yang buruk, maka itu adalah bid'ah hasanah, dan jika tidak demikian, maka tidak boleh."

قَالَ وَقَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى } فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ وَدَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ الَّذِي هُوَ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ

Dan Imam Ibn Hajar berkata : _"Telah nampak bagiku riwayatnya pada pijakan yang kokoh, yaitu yang terdapat dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam datang ke Madinah, dia mendapatkan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu dia menanyakan mereka.

Mereka menjawab: “Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.” Maka, faidah dari kisah ini adalah melakukan perbuatan syukur kepada Allah atas karunia yang diberikanNya di hari tertentu berupa nikmat dan dijauhi dari bencana, dan mengulangi hal itu pada hari tersebut di setiap tahunnya.

Bersyukur kepada Allah bisa dilakukan dengan bermacam-macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, dan tilawah. Dan, nikmat apakah yang paling besar dibanding nikmat kelahiran Nabi yang mulia ini, dialah Nabi yang menjadi rahmat pada hari itu." (Ibn Hajar Al Haitamiy, Tuhfatul Muhtaaj, 31/377-378)

Bahkan terdapat ayat Qur'an yang berbunyi :

وَذَكِّرْهُم بِأَيّٰمِ اللّٰه..

"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allaah.." (QS. Ibrahim[14] : 5)

Imam Al Bayhaqi dari Ubay Ibn Ka'ab, meriwayatkan dari Rasulullah bahwa Ayyamillah(Hari hari Allaah) ini ditafsirkan sebagai nikmat dan karunia Allaah.
Karena itu, kelahiran Nabi Muhammad termasuk nikmat dan karunia yang layak diperingati, dengan tanpa berlebih lebihan. (Ali Jum'ah, Al Bayan, 1/173)

2. Al Imam Al ‘Iraqi berkata :

إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت، فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الشهر الشريف، ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها، فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجب

“Sungguh melakukan perayaan (walimah) dan memberikan makan disunnahkan pada setiap waktu, apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan kegembiraan dengan kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pada bulan yang mulia ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu makruh (dibenci), betapa banyak bid’ah yang disunnahkan bahkan diwajibkan” (Ad Durar As Saniyah, Hal. 19)

3. Al Imam Al Muhaddits As Sakhawi berfatwa :

قال السخاوي إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أهل الإسلام من سائر الأقطار والمدن الكبار يعملون المولد ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم

"Sesungguhnya amalan maulid baru terjadi setelah tiga zaman (maksudnya zaman nabi, sahabat, dan tabi’in), kemudian penduduk Islam di seluruh penjuru dan kota-kota besar melakukannya dan mereka bersedekah pada malam harinya dengan berbagai macam sedekah dan secara khusus membaca kisah kelahirannya yang mulia, dan nampaklah keberkahan bagi mereka pada setiap keutamaannya." (Ad-Dimyati, I'anathuth Thalibin, 3/364)

4. Imam Abu Syamah(Gurunya Imam Nawawi), berfatwa :

ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور فإن ذلك مع ما فيه من الإحسان للفقراء مشعر بمحبة النبي صلى الله عليه وسلم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أرسله رحمة للعالمين

"Di antara bid'ah terbaik yang ada pada zaman kita adalah apa yang dilakukan pada setiap tahun di hari bertepatan dengan kelahiran Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, mereka bersedekah, melakukan hal yang ma'ruf, menampilkan keindahan dan kebahagian, sebab yang demikian itu selain merupakan bukti berbuat baik kepada para fuqara juga merupakan wujud mencintai Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dan memuliakannya di hati pelakunya, yang telah bersyukur kepada Allah Ta'ala atas karunia kehadiran Nabi shallallahu 'alayhi wasallam yang diutusNya sebagai rahmat bagi semesta." (Ad Dimyati, I'anatuth Thalibin, 3/364)

Bersambung..
🌸💎 Silahkan Share..
Ngaji FIQH : WA (+20 1019133695)

Minggu, 10 Desember 2017

📝 *Maulid Nabi Muhammad : Moment mengenang Perjuangan Nabi - 1 (Silahkan Share)*
💎🌸 Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH 🌸💎

Pak ustadz, mau nanya,
Emangnya maulid orang syiah seperti apa sih?? Kok bisa2nya muslim yg mengadakan maulid dianggap mengikuti syiah..

Jawab :

Seandainya merayakan Maulid dicap sebagai Syi'ah, maka SYI'AH LAH IMAM AL JAZARI(Imam Para Ahli Qiraat).

Syaikh Yusuf An-Nabhani, dalam kitabnya "Al Anwar Al Muhammadiyyah min Al Mawaahib Ad-Diniyyah", menukil ucapan Imam Al Jazari :
فإذا كان هذا أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي بفرحه ليلة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فما حال المسلم الموحد من
أمته؟ يُسرّ بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله العميم جنات النعيم. ولا زال أهل الإسلام يحتفلون بشهر مولده عليه الصلاة والسلام و يعملون الولائم ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويظهرون السرور ويزيدون في المبرّات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر عليهم من بركاته كلُّ فضل عميمٍ

"Jika Abu Lahab kafir yang disebutkan celanya dalam AlQur'an, ia tetap diberi balasan meskipun ia di dalam Neraka, karena rasa senangnya pada malam Maulid Nabi. Maka bagaimanakah keadaan seorang muslim yang bertauhid dari ummat Nabi Muhammad shallallaahu 'alayhi wasallam yang bahagia dengan kelahirannya dan mengerahkan segenap kemampuannya dalam mencintai Rasulullaah. Sungguh, pastilah balasannya dari Allaah Ta'aala ia akan dimasukkan ke dalam Syurga karena karunia-Nya. Dan Ummat Islam senantiasa memperingati bulan Maulid Nabi dan mengadakan jamuan-jamuan serta bershodaqoh pada malam malamnya dengan beragam macam shodaqoh. Kemudian mereka menampakkan kebahagiaan dan semakin bertambah dengan berbagai kebaikan. Mereka pun bersungguh sungguh dalam membaca sejarah kelahiran Nabi dan tampaklah keberkahan dengan segala keutamaan amal amal itu." (Yusuf An-Nabhani, Al-Anwar Al-Muhammadiyyah, hal. 40)

Bahkan Imam Al Jazary rahimahullaah mengarang kitab tersendiri tentang Maulid Nabi, "عرف التعريف بالمولد الشريف"

Seandainya mengakui amal shalih dengan Maulid itu dicap Syi'ah, maka SYI'AH LAH IMAM IBNU TAIMIYYAH.

Ia berkata :
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم

"Mengagungkan hari Maulid dan menjadikannya sebagai perayaan tahunan dilakukan sebagian orang, maka ia mendapat balasan pahala yang besar karena kebaikan niatnya dan pengagungannya kepada Rasulullaah shallallaahu 'alayhi wasallam." (Ibn Taimiyah, Iqtidha As-Shirat Al-Mustaqim, hal. 297)

Seandainya membela amal Maulid Nabi itu dicap Syi'ah, maka SYI'AH LAH IMAM AS-SUYUTHI (Imam Hafidz Ahlussunnah Wal Jamaah).

Bahkan, Imam As-Suyuthi mengarang kitab tersendiri mengenai amaliyah Maulid, dengan judul "حسن المقصد في عمل المولد"
والجواب عندي أن أصل عمل مولد الذي هو إجتماع الناس، وقراءة ما تيسر من القرآن، ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم، وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك؛ هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها؛ لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والإستبشار بمولده الشريف.

"Dan jawaban dariku bahwa dasar amaliyah Maulid -yakni berkumpulnya manusia dalam satu peringatan, pembacaan AlQur'an dan pembacaan riwayat riwayat mengenai kehidupan Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam; serta apa yang ada kaitannya dengan Maulid dari ayat Qur'an, hingga disajikannya makanan tanpa berlebih lebihan; itu semua bid'ah hasanah dimana pelaksananya diberi pahala. Hal itu karena peringatan ini didasari atas pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan kebahagiaan dan kabar gembira dengan kelahiran Nabi yang Mulia." (Ali Jum'ah, Al Bayaan lima Yasghalul Adzhan, 1/171)

Tatkala dikatakan, bahwa Maulid tidak ada dalilnya dari Qur'an dan Sunnah, jawaban Imam Suyuthi ialah :

نفي العلم لا يلزم منه نفي الوجود

"Ketiadaan pengetahuan atas sesuatu tidak otomatis menafikan keberadaannya". Amal Maulid sebetulnya berdasar atas Qur'an dan Sunnah. Hanya saja kita belum paham. Dan akan kita bahas, in Sya Allaah.

Bersambung..

 Sholat Jum'at bagi Perempuan   Soal Jawab Grup WA Ngaji FIQH Assalaamu'alaikum...ustadz..mhn penjelasan trkait ikut sholat jumat...